"Aku sudah minta pada Kak Endah untuk difoto seperti itu. Katanya ada studio khusus di mana kita didandani dulu!" Anik menjelaskan.
Tak lama kemudian kedua kawannya pamit pulang, tak lupa mengucapkan selamat jalan dan minta dibawakan oleh-oleh.
"Aku tidak lama, kok. Cuma empat hari. Sekarang hari Kamis. Hari Senin aku sudah ada di sini lagi!" kata Anik.
Malamnya Anik tak bisa tidur. Ia sudah menyiapkan pakaian yang ditaruh di tas. Ibu sudah membuatkan dodol dan wajik untuk dibawa ke Jakarta, la membayangkan besok malam mungkin ia sudah tidur di kamar tidur yang mewah seperti yang tampak di foto. Sayang kawan-kawan tak ikut. Kalau bertiga, mereka bisa main air di kolam renang di rumah mewah itu walaupun tak bias berenang.
Esok paginya Anik berangkat.
"Kalau sampai tidak bertemu Kak Endah, diam saja di stasiun dekat loket penjual karcis. Nanti Mang Udin akan menjemput kamu. la akan ikut kereta api sampai ke kota dulu dan kemudian kembali lagi ke stasiun Kemayoran!" pesan Ibu.
Di kereta Anik dapat tempat duduk. la duduk dekat seorang nenek yang akan menengok cucunya di Jakarta. Mang Udin meninggalkan Anik karena ia harus menjajakan jeruk.
"Jeruk manis, jeruk manis. Seratus rupiah satu. Gopek enam, dua belas seribu!" demikian kata Mang Udin sambil membawa karung yang berisi jeruk kecil-kecil. la memberikan empat buah pada Anik.
"Untuk obat haus di jalan!" katanya.
Jak, jik, juk, jak, jik, juk, kereta terus berlari. Semakin mendekat ke Jakarta, kereta semakin padat. Di setiap stasiun lebih banyak orang yang naik daripada yang turun. Untung kipas angin menyala dan jendela-jendeia dibuka.
Akhirnya kereta tiba di stasiun Kemayoran. Anik turun bersama orang-orang lain. Di depan stasiun ia mencari-cari Kak Endah. Anik meletakkan tasnya. la mengusap matanya. Seorang mbak penjual jamu, berkain dan kebaya sambil menggendong bakul jamu mendekatinya. Tangan kirinya memegang ember kecil dari tangan kanannya melambaikan tangan. Rambutnya disanggul.
"Mari, Nik!" ajak Kak Endah. "Tasmu berat, tidak?"