Dulu kala, hiduplah seorang pendeta muda yang suka berkelana. Namanya Denkai. Ia berkelana ke seluruh pulau di Jepang dan tidur di mana saja. Tahun ini, ia ingin berziarah ke kuil Lotus di kota Nara, di dekat Kyoto. Sekaligus melihat Festival Cahaya yang biasa diadakan di kuil itu.
Festival Cahaya terkenal karena indah dan khusuk. Pada festival itu, biasanya para pendeta dan warga biasa akan berkeliling membawa obor di malam hari. Lagu-lagu indah juga terdengar didengungkan oleh para pendeta. Karena selalu bepergian, Denkai belum pernah melihat Festival Cahaya.
Denkai yang masih muda dan kuat, memulai perjalanannya menuju ke Nara. Saat malam tiba, ia selalu mendapat penginapan dari warga setempat yang baik hati. Pagi harinya, ia pun melanjutkan perjalanannya. Untuk menuju ke Nara, ia melewati kota Nagano.
Suat sore, Denkai bingung mau menginap di mana. Di kejauhan, ia melihat sebuah bangunan di tengah lembah. Saat berjalan lebih dekat, barulah terlihat kalau bangunan itu adalah sebuah kuil. Ada tangga untuk menuju ke lantai atas. Denkai gembira dan memutuskan untuk menginap di kuil itu. Ia pun meneruskan langkahnya. Namun, ia heran karena tidak melihat sekorang pun di sekitar tempat itu.
Saat tiba di gerbang kuil di kaki bukit, Denkai heran. Ternyata kuil itu sudah lama tidak ditinggalkan. Atapnya berlubang, kusen-kusen kayunya sudah reot, dan batu-batu di jalan setapak sudah penuh lumut. Rumput-rumput liar pun tumbuh tinggi di antara bebatuan.
Denkai jadi ragu. Namun karena hari sudah malam, ia tetap memutuskan untuk menginap di situ. Setidaknya ia bisa meletakkan kepalanya. Ia pun menaiki tangga batu yang cukup tinggi, dan sampai ke ruang utama. Tempat itu kosong dan masih hangat sinar matahari.
Dari jendela di pojok, Denkai bisa melihat pemandangan di tepian daerah itu. Ia kembali bingung, mengapa kuil itu kosong. Tiba-tiba, angin dingin bertiup dari gunung. Denkai bergidik dan memakai jubahnya.
Ia melihat ke lembah dan melihat ada yang bergerak di sana. Tampak ada cahaya terang di cakrawala dan bergerak turun ke arah kuil. Cahaya itu lalu pecah menjadi banyak cahaya kecil-kecil, dan ia bisa melihat ada rombongan yang menuju ke lembah.
Denkai semakin heran. Apakah itu para peziarah yang akan mengadakan upacara di kuil yang ia tempati itu? Dengan cahaya sebanyak itu, pasti mereka akan mengadakan perayaan besar. Denkai belum pernah mendengar berita tentang kuil yang punya upacara besar di daerah itu.
Anehnya lagi, cahaya itu bergerak cepat bagai melesat. Dari kaki bukit, tiba-tiba saja mereka sudah tiba di gerbang kuil. Lalu rombongan bercahaya itu menaiki tangga. Ajaibnya, tak terdengar langkah kaki, kecuali suara seperti bisikan-bisikan.
Denkai bersembunyi di sudut dan menahan napas. Seketika, pintu kuil terbuka. Ada rombongan yang masuk ke ruangan utama itu. Ternyata, mereka bukan manusia, bukan juga hewan. Mereka bertubuh manusia, tetapi berkepala hewan.
Denkai mengintip, melihat rupa makhluk-makhluk siluman itu dengan takjub. Ia sampai lupa untuk takut. Siluman-siluman itu ada berbagai bentuk. Ada yang berkepala kucing, ada yang bermata tiga, ada yang memiliki telinga besar di dada, ada yang tangannya panjang sampai ke lantai.
Para makhluk itu tak bersuara dan membentuk barisan penyambutan tamu. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah makhluk hitam yang berkilat. Kepalanya tinggi sampai ke atap kuil. Jari-jarinya panjang dan kukunya tajam. Tubuhnya berkulit macan dan ekornya panjang sampai ke lantai. Dialah Raja Siluman.
Raja Siluman itu berdiri di depan ruangan. Yang lain berdiri dengan hormat menunggu perintah. Raja itu lalu berkata dengan suara dalam,
“Kita semua baru saja selesai berkeliling dunia, melaksanakan tugas kita masing-masing. Saya bahagia melihat kalian semua. Sebelum kita mulai bertugas lagi, saya akan bicara. Duduklah!”
Para siluman duduk di lantai dengan tenang. Hanya satu makhluk kurus berhidung panjang yang tetap berdiri di tengah ruangan.
“Kubilang duduk!” seru Raja marah. “Kenapa kamu berdiri?”
Siluman hidung panjang itu melihat ke sekeliling. “Aku tidak bisa duduk karena tak ada tempat lagi untukku!”
Sejenak semua terdiam, sampai terdengar si kepala ular berteriak sambil mendesis, ”Ssshhh… ada manusia di sini. Dia bukan anggota kita!”
Semua siluman melihat ke sekeliing aula. Akhirnya mereka melihat Denkai yang meringkuk di pojok, gemetar ketakutan. Semua menatapnya dengan mata melotot. Raja Siluman lalu berkata dengan suara berat,
“Kalau tak ada tempat, aku akan memberikan tempat untukmu, Hidung Panjang!” Raja lalu mengangkat tangannya yang mengerikan, mengulurkannya ke arah Denkai. Pendeta muda itu semakin meringkuk ketakutan, tetapi tak ada gunanya. Jari-jari dengan kuku panjang itu lalu menarik kerah baju Denkai, mengangkatnya ke udara, lalu melempar Denkai lewat jendela.
Denkai melayang melewati gerbang kuil, dan akhirnya jatuh. BRUK! Denkai berusaha menahan tubuhnya di tangga batu. Tubuhnya tak bisa bergerak. Ia hanya terdiam. Setelah itu, tampak ada cahaya-cahaya yang melesat keluar dari kuil. Setelah itu, tak ada apapun yang terjadi. Denkai kehabisan tenaga dan jatuh tertidur.
Saat ia bangun paginya, matahari sudah bersinar terang. Ia teringat kejadian tadi malam. Denkai merasa itu cuma mimpi dan ia ingin melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi, ia sangat terkejut ketika melihat sekelilingnya. Ternyata, ia tidak duduk di gerbang kuil. Kuil itu telah menghilang. Ia bahkan tidak berada di lembah.
Denkai mengusap matanya. Ia betul-betul tidak tahu berada di daerah mana. Ia duduk di dataran pantai yang rata sekali. Di kejauhan hanya terlihat kabut dan gunung tinggi. Di sisinya, tampak lautan tak berujung.
Denkai bingung tak tahu harus berbuat apa. Matahari semakin panas. Tiba-tiba, ia melihat ada yang bergerak mendekat ke pantai. Ia tak mampu melihat mereka karena melawan cahaya matahari. Setelah dekat, barulah ia tahu kalau itu adalah sekelompok pedagang yang menunggang kuda. Denkai mendekat dan mereka saling memberi salam.
“Maaf kalau saya bertanya hal yang aneh. Tapi saya sebetulnya tersesat dan tidak tahu berada di mana,” kata Denkai.
Salah satu pedagang itu tertawa dan berkata, ”Itu pertanyaan yang aneh, Pendeta. Kenapa kamu bisa tersesat di dataran Hyuga? Kukira kamu sudah pikun. Tapi kamu masih muda…”
Bagaimana mungkin? Pikir Denkai terkejut. Kenapa ia bisa berada di dataran Hyuga, di pulau Kyushu? Tempat itu kan sangat jauh dari jalan di kota Nagano. Tak mungkin ia bisa terlempar sejauh itu!
“Wah, pendeta ini terkejut,” kata pedagang itu pada teman-temannya. “Dia mungkin lapar. Berikan dia makanan dan minuman. Tapi kita harus segera pergi agar tidak kemalaman di jalan.” Pedagang itu lalu berkata pada Denkai, “Kalau kamu berjalan ke utara, menyusuri tepi pantai ini seperti kita, kamu akan tiba di kota Hyuga sebelum malam,” katanya.
Denkai berterimakasih dan berjalan di dekat kelompok itu. Namun para pedagang itu sedang terburu-buru. Si pendeta sampai tertinggal di belakang. Akhirnya, rombongan itu lenyap dari pandangan Denkai. Kini ia sendirian lagi di tepi pantai luas itu.
Denkai terus berjalan menyusuri pantai. Ia sambil berpikir, mengapa bisa sampai ke tempat itu. Denkai belum pernah datang ke pulau Kyushu. Namun ia yakin, pasti ada kuil di daerah itu. Kini ia tidak yakin bisa melihat Festival Cahaya. Dari pulau Kyushu, tak mungkin dalam tiga hari ia bisa sampai ke kuil Lotus di kota Nara.
Saat sore hari, Denkai tiba di teluk yang dangkal. Ia melihat sebuah kapal tertambat di situ. Denkai kembali merasa heran. Di sekitar situ tidak ada manusia. Apakah kapal itu terdampar di teluk itu? Atau, ditarik ke teluk itu untuk diperbaiki?
Denkai mendekat. Ia melihat ada sebuah perahu di kapal itu. Perahu itu pasti cukup nyaman untuk aku tidur, pikir Denkai. Maka, ia lalu masuk ke dalam perahu di kapal itu, lalu berbaring di dalamnya. Tak lama kemudian, Denkai pun tertidur.
Beberapa saat kemudian, ia terbangun karena merasakan angin dingin. Ternyata, hari sudah malam. Ia mendengar bunyi gelombang yang menghempas dinding kayu. Denkai tersentak. Jangan-jangan, air laut sedang pasang naik.
Denkai lalu melihat ada layar yang terkembang. Ternyata, kapal itu telah berlayar. Aku mimpi aneh lagi, pikir Denkai. Dan ia merasa tidak sendirian di kapal itu.
Denkai mengintip dari perahu itu. Ternyata di buritan atau belakang kapal, ia melihat ada tiga makhluk hitam sedang memandangi langit. Ia melihat haluan atau depan kapal. Di sana ada sekelompok prajurid dengan senjata lengkap dan busur-busur besar, berdiri tak bergerak menatap lautan.
“Jurumudi, hari ini, jelek sekali caramu mengemudikan kapal!” teriak sebuah suara dari haluan. “Ini salahmu kalau kita terlambat tiba!”
Tak ada yang menjawab. Namun, tampak layar jadi lebih sering bergerak. Setelah beberapa saat kemudian, suara yang sama terdengar lagi dari dari haluan.
“Aku akan menghukum kalian semua, yang memegang kendali layar dan kemudi. Gerakan kalian terlalu malas! Kalau seperti ini, kita akan kalah perang!”
Akhirnya terdengar suara lain dari buritan,
“Bukan salah saya, Pak. Kapal ini terlalu berat dan miring ke kanan!”
Denkai mendengar percakapan itu dan menjadi tertarik. Ia lalu melihat ada melangkah ke sisi kanannya, di bawah perahu. Ia mendengar suara gerutuan dan pelan-pelan makhluk hitam berbaju tentara itu berdiri. Ia menunjuk ke Denkai di dalam perahu dan berkata,
“Ini ada penyusup! Dia yang bikin kapal ini menjadi berat. Dia bukan anggota kita!”
Denkai baru sadar kalau mereka adalah arwah-arwah tentara perang. Arwah-arwah itu terdiam. Namun komandannya berseru,
“Lagi-lagi ada penyusup dari dunia lain! Keluarkan dia! Dia tak boleh bikin kita terlambat. Turunkan dia di pulau Awaji, dan kita berangkat lagi karena sebentar lagi matahari terbit!”
“Baik,” kata jurumudi. “Tapi, kita tidak bisa membawa pendeta ini ke Awaji sebelum fajar. Kita tinggalkan saja dia di batu besar di sana. Dia akan aman karena laut tenang dan sudah tidak jauh dari pantai.”
Komandan setuju. Maka Denkai dibawa ke dekat batu besar itu. Sebelum Denkai tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di tanah. Kapal dan para ksatrianya seketika menghilang tanpa jejak.
Ketika Denkai sangat ketakutan di tengah kegelapan. Untunglah, mentari pagi mulai terbit. Tampak kabut tipis di sekelilingnya. Denkai baru tahu kalau ia berdiri di atas batu besar yang dikelilingi lautan. Laut itu sangat teduh tanpa ombak. Denkai duduk di batu itu dengan hati hati. Ia menatap kabut di sekelilingnya dan memikirkan pengalamannya semalam.
Kabut itu kini semakin tipis. Denkai sekarang bisa melihat daratan yang tak jauh dari batu itu. Ia melihat pohon-pohon di tepi pantai. Lalu tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak dari arah pantai.
Ada seseorang yang menunjuk ke Denkai. Lalu tampak ada yang berbalik dan berdiri. Kabut pagi itu lalu ditiup angin. Kini Denkai bisa melihat kalau makhluk-makhluk itu ternyata para pendeta. Di pohon-pohon sakura, tersembul atap sebuah kuil.
Denkai melambai ke arah para pendeta dengan gembira. Mereka menjemput Denkai dan membawanya ke pantai. Setiba di pantai, Denkai baru tahu, kalau ia berada di danau yang menghubungkannya dengan kuil Naga Langit yang terletak di Kyoto. Denkai gembira karena ia sudah kembali ke tempat semula. Dengan begitu, ia akan tiba tepat waktu di kuil Lotus di kota Nara.
Dari pantai itu, Denkai melanjutkan perjalanannya. Kali ini, tak ada lagi siluman yang mengganggu sampai dia tiba di kuil Lotus.
(Dok. Majalah Bobo/Folklore)