Pulang dari rumah Nano, hati Ipong berbunga-bunga. Lengan kanan mengempit kotak catur dan tangan kiri melenggang. Udara sore yang cerah dengan awan biru seolah-olah turut bergembira bersama Ipong.
"Tak kusangka aku berhasil mengalahkan Nano dan Budi. Nano, juara catur di sekolah dan Budi, juara catur tingkat RT!" begitu kata hati Ipong.
Masih terbayang di ruang matanya kedua kawannya menyalaminya dan berkata, "Kamu banyak maju, Pong. Kalau besok menang, jangan lupa traktir kami!"
"Tentu saja. Doakan supaya aku menang!" begitu kata Ipong tadi.
Makin dekat ke rumah, langkah kaki Ipong makin cepat. la mau menelepon Paman Dani yang bekerja di majalah anak-anak. Besok ada lomba catur untuk anak-anak SD di mal dan Paman Dani termasuk anggota panitia perlombaan. Sabtu lalu Paman Dani menelepon Ibu dan memberi tahu tentang lomba catur tersebut. Kalau Ipong berminat supaya mendaftar selambat-lambatnya hari Senin. Sekarang sudah hari Sabtu dan Ipong belum mendaftar.
Setiba di rumah, Ipong menelepon Paman Dani. Wah, ternyata Paman Dani belum pulang.
"Bu, aku telepon Paman Dani ke handphone saja, ya!" Ipong minta izin pada Ibu.
"Boleh, tapi jangan lama-lama!" pesan Ibu.
Ipong berdiri dekat meja telepon dan menelepon Paman Dani.
"Halo, Paman, aku sudah siap ikut lomba catur besok. Jam berapa aku harus tiba di mal? Paman jemput aku tidak?" bertubi-tubi pertanyaan Ipong.
"Pong, kamu tak bisa ikut. Pendaftaran, kan, sudah ditutup Senin sore yang lalu!"
"Yaaa, Paman, kok, begitu? Paman, kan, Panitia. Kupikir Paman sudah daftarkan!" kata Ipong dengan perasaan kecewa bercampur waswas.