"Sudahlah In, tak usah dipikirin. Arga, kan, memang usil dan nakal. Nanti kalau kita marah, dia malah tambah senang. Kita diamkan saja anak itu," hibur Gendis, sahabat Inka.
Hari berikutnya, Gendis yang menjadi korban kenakalan Arga. Siang itu, sewaktu istirahat pertama, Arga duduk di dekat Gendis dan bertanya, "Dis, nama kamu, kok, bagus, sih. Bagaimana cara mengeja nama Gendis itu?"
"Apa, sih, kamu mau mengganggu lagi ,ya? Beraninya cuma sama anak perempuan."
"Lo...aku, kan, cuma bertanya, mengeja nama Gendis itu gimana. Masak gitu aja marah."
"Gendis, ya, mengejanya G-E-N-D-l-S, dong!" jawab Gendis ketus.
"Haaa...kamu itu gimana, sih, Dis. Sudah kelas empat, kok, belum bisa mengeja nama sendiri dengan benar. Gendis itu mengejanya G-E-M-B-U-L. Itu lo kayak pamannya Bobo, hahaha...."
Arga tertawa, diikuti teman-temannya. Gendis yang memang merasa badannya gemuk jadi sewot.
"Arga, kamu selalu begitu! Bisa nggak, sih, sehari tanpa berbuat nakal?”
Gendis pun pergi dengan marah.
Suatu hari, di siang yang panas, Inka dan Gendis berjalan kaki pulang sekolah. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar bunyi bel sepeda berdering-dering.
"Hoi...minggir...minggir.... Pangeran Arga yang ganteng ini mau lewat. Rakyat jelata diharap minggir."
Inka dan Gendis cuma menoleh sebel. Arga melewati mereka dengan tertawa keras. Tahu-tahu...gubrak! Karena kurang hati-hati, sepeda Arga menabrak sebuah pohon.