Kena Batunya

By Sylvana Toemon, Sabtu, 19 Mei 2018 | 02:00 WIB
Kena Batunya (Sylvana Toemon)

"Ssst....Bu Isti datang," kata Cahyo.

Langsung saja anak-anak kelas 4 SD Sambo Indah beranjak duduk ke tempatnya masing-masing.

"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Bu Isti dengan ramah.

"Selamat pagi, Buuuuuu!" Anak-anak menjawab dengan kompak.

"Anak-anak, kemarin Ibu memberikan tugas Bahasa Indonesia membuat pantun, semua sudah mengerjakan?"

"Sudah Bu."

"Arga, kamu sudah membuat pantun?"

"Sudah dong, Bu."

"Coba kamu bacakan untuk teman-temanmu."

Dengan wajah nakalnya, Arga membacakan pantunnya sambil tersenyum-senyum.

"Jalan ke hutan melihat salak

Ada pula pohon-pohon tua

Ayam jantan terbahak-bahak

Lihat Inka giginya dua"

"Huahaha...." Kontan saja anak-anak sekelas tertawa terbahak-bahak. Hanya satu orang yang tidak tertawa.

Inka cuma cemberut sebel sambil melihat Arga.

"Arga, kamu nggak boleh seperti itu sama temannya," tegur Bu Isti. "Kekurangan orang lain itu bukan untuk ditertawakan. Coba kamu buat pantun yang lain."

"lya Bu," jawab Arga sambil masih tersenyum-senyum.

Itulah Arga, anak paling bandel di kelas empat. Ada saja ulah usilnya untuk mengganggu teman-temannya, terutama teman-teman perempuan di kelasnya. Siang itu, pulang sekolah, Inka mendatangi Arga dengan wajah cemberut.

“Arga, kenapa, sih, kamu selalu mengejek aku? Memangnya kamu suka kalau diejek?" tanya Inka gusar.

Arga cuma tertawa-tawa. "Aduh...maaf, deh. Kamu marah, ya, In?"

"lya, dong. Habis...kamu nakal. Kamu memang sengaja mengejek aku, kan? Biar anak-anak sekelas menertawakan aku."

"Wa...jangan marah, dong. Aku, kan, cuma bercanda. Eh, katanya marah itu bisa menghambat pertumbuhan gigi lo, nanti kamu giginya dua terus, hahaha..." Arga tertawa. Danto yang berada di dekat Arga juga ikut tertawa.

"Huh! kalian jahat!" teriak Inka. "Aku nggak ngomong lagi sama kalian!" Inka meninggalkan kedua anak nakal itu.

"Sudahlah In, tak usah dipikirin. Arga, kan, memang usil dan nakal. Nanti kalau kita marah, dia malah tambah senang. Kita diamkan saja anak itu," hibur Gendis, sahabat Inka.

Hari berikutnya, Gendis yang menjadi korban kenakalan Arga. Siang itu, sewaktu istirahat pertama, Arga duduk di dekat Gendis dan bertanya, "Dis, nama kamu, kok, bagus, sih. Bagaimana cara mengeja nama Gendis itu?"

"Apa, sih, kamu mau mengganggu lagi ,ya? Beraninya cuma sama anak perempuan."

"Lo...aku, kan, cuma bertanya, mengeja nama Gendis itu gimana. Masak gitu aja marah."

"Gendis, ya, mengejanya G-E-N-D-l-S, dong!" jawab Gendis ketus.

"Haaa...kamu itu gimana, sih, Dis. Sudah kelas empat, kok, belum bisa mengeja nama sendiri dengan benar. Gendis itu mengejanya G-E-M-B-U-L. Itu lo kayak pamannya Bobo, hahaha...."

Arga tertawa, diikuti teman-temannya. Gendis yang memang merasa badannya gemuk jadi sewot.

"Arga, kamu selalu begitu! Bisa nggak, sih, sehari tanpa berbuat nakal?”

Gendis pun pergi dengan marah.

Suatu hari, di siang yang panas, Inka dan Gendis berjalan kaki pulang sekolah. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar bunyi bel sepeda berdering-dering.

"Hoi...minggir...minggir.... Pangeran Arga yang ganteng ini mau lewat. Rakyat jelata diharap minggir."

Inka dan Gendis cuma menoleh sebel. Arga melewati mereka dengan tertawa keras. Tahu-tahu...gubrak! Karena kurang hati-hati, sepeda Arga menabrak sebuah pohon.

"Rasain kamu!" teriak Inka.

"lya," tambah Gendis.

"Makanya kalau sama anak perempuan jangan suka nakal. Sekarang kamu kena batunya."

Sementara Arga cuma meringis kesakitan.

 "Aduh...tolong, dong. Aku nggak bisa bangun, nih!"

"Ngapain ditolong. Dia, kan, suka ganggu kita. Biar tahu rasa sekarang. Lagian, paling dia cuma pura-pura. Nanti kita dikerjain lagi."

“Aduh...aku nggak pura-pura. Kakiku sakit sekali," rintih Arga. "Aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi."

Akhirnya Inka tak tahan juga melihat Arga yang meringis kesakitan "Ditolong, yuk, Dis."

“Tapi..."

"Sudahlah, kita, kan, nggak boleh dendam sama orang lain. Arga, kan, teman kita juga." Gendis mengangguk. Kedua anak itu lalu mendekati Arga.

"Apanya yang sakit, Ga?"

"Aduh...kakiku sakit sekali. Aku nggak kuat berdiri, nih."

"Gini aja Dis, kamu ke sekolah cari Pak Yan yang jaga sekolah. Pak Yan, kan, punya motor. Nanti Arga biar diantar pulang sama Pak Yan. Sekarang aku di sini menemani Arga."

"Ide yang bagus," kata Gendis semangat.

Ia segera berjalan menuju ke sekolah.

"In...," kata Arga lirih. "Maafkan aku, ya. Aku sering ganggu kamu, Gendis, dan teman-teman yang lain."

"Makanya kamu jangan suka ngerjain orang, apalagi mengolok-olok kekurangan mereka. Jangan suka meremehkan anak perempuan. Nyatanya, kamu membutuhkan mereka juga, kan?"

"lya, deh, aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi."

Arga betul-betul menepati janjinya. Sejak kejadian itu, ia tak pernah mengganggu teman-temannya lagi. Arga pun jadi punya banyak sahabat, termasuk Inka dan Gendis. Mereka sering mengerjakan PR dan belajar bersama.

"Ternyata kalau aku nggak nakal, sahabatku tambah banyak," pikir Arga.

Ternyata, punya banyak sahabat itu menyenangkan. Kalau mereka ulang tahun, kan, aku jadi sering ditraktir, hihihi....

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Veronica Widyastuti