Makin lama makin banyak monyet yang datang. Ketika kutinggalkan tempat itu, jerukku tinggal dua.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan membawa roti buatan Ibu. Ketika melintasi Laguna Sihir, lagi-lagi monyet-monyet memanggilku. Roti Ibu tinggal sepotong ketika aku tiba di rumah Kakek Teta.
"Hmm, roti yang lezat!" gumam Kakek Teta seraya memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. "Apakah ibumu sehat?"
“Tidak begitu," jawabku sedih. "Batuknya semakin parah."
"Oh, kau harus memeriksakan ibumu ke dokter!" Kakek Teta berseru. "Tunggu, aku akan membayar upahmu lebih cepat!"
Kakek Teta menghilang ke dalam rumah. Sementara menunggu, aku mengambil koran di sudut ruang tamu. Tiba-tiba sesuatu melayang pelan sebelum jatuh ke lantai. Selembar uang kertas seratus ribu! Selembar uang yang bisa mengantar ibuku ke dokter! Selembar uang yang bisa meringankan bebanku!
Dengan cepat sekali, kupungut uang kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku. Kakek Teta mungkin telah melupakan lembar yang terselip ini. Ketika ia muncul, kuterima upahku dengan gemetar. Kakek Teta lalu menyuruhku pulang.
Hatiku tak tenang. Sepeda kukendarai kencang. Hari ini jalan seakan bergelombang. Beberapa kali aku terguncang. Dan sebuah batu yang cukup besar, entah dari mana munculnya, menghalangi jalan. Tanpa mengurangi kecepatan, aku mencoba menghindar. Ah, tetap saja ban sepeda mengenainya. Aku terpelanting dan... BYURR, aku tercebur ke dalam Laguna Sihir.
"Tolong..."aku menjerit. Kulihat serombongan anak-anak lewat. Mereka teman-temanku. "Oii, oii...." teriakku.
"Iii..." Mereka serentak menyoraki seperti monyet.
"Ke siniiii, aku Joniii...!"
"Iii..." Mereka menggerakkan mulut meniruku. Kemudian mereka terbahak-bahak. "Monyet itu lucu sekali! Lucu sekali!"