Oh, mereka mengataiku monyet! Kurabai seluruh tubuhku yang tiba-tiba berbulu. Air panas laguna telah mengubah wujudku. Teman-temanku berlalu dan aku menangis tersedu-sedu.
"Hei, hei, Anak Muda, kenapa kau di sini?" seekor monyet mengejutkanku. "Kau harus pergi, danau ini bukan tempatmu!"
"Aku seekor monyet sekarang!" tangisku semakin keras.
"Kau harus pergi!" monyet-monyet berdatangan. "Kau bukan pencuri, perampok, atau pembunuh. Kau anak yang baik. Kau telah membagi jeruk dan roti. Tempatmu bukan di sini!"
Monyet-monyet itu menyeretku sampai ke tepi. Mereka sama sekali tak mendengar penjelasanku. Aku bukan anak yang baik lagi. Aku telah mencuri uang orang yang mempercayaiku.
Akhirnya kukayuh sepeda kembali ke rumah Kakek Teta. Angin menderu-deru di sekitarku, mengeringkan baju dan uang di saku. Sesampai di sana, aku mengendap-endap mendekati jendela. Lalu kulempar uang yang kucuri ke atas meja. Segera aku menyelinap pergi.
Sekarang aku harus bertemu Ibu. Air mataku bercucuran sepanjang jalan. Betapa malang nasibku! Perbuatanku yang salah telah membuatku berpisah dengan Ibu selamanya.
"Kenapa kau pulang cepat, Nak?" Ibu membuka pintu ketika aku menyandarkan sepeda. Aku tak berani menjawab. Kukira Ibu akan terkejut.
"Oh, anakku!" Ibu mendekat. "Wajahmu pucat. Cepat masuk, udara hari ini memang benar-benar jelek!"
Oh, ibuku yang lembut dan baik hati! Ia tetap melihatku sebagai anaknya. Aku menunduk. Kulihat tanganku tak berbulu lagi, wajahku juga tidak. Aku telah kembali ke wujud semula!
Aku melonjak gembira. Akan kuceritakan pengalamanku hari ini kepada Ibu. Dengan alasan apa pun, aku berjanji tak akan pernah mencuri lagi!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.