Bu Suka pun menunjukkan surat yang ia bawa.
“Wah, akan saya tanyakan dulu,” kata Bapak itu sambil masuk ke dalam ruang tata pegawai.
Perasaan Puspita tidak enak, begitu pula dengan Bu Suka. Seorang wanita keluar dari ruangan dengan wajah cemberut.
“Bu, maaf… Lomba ini sudah dipindah tempat penyelenggaraannya. Jadi di kantor dinas pendidikan provinsi, yang di daerah Renon,” kata wanita itu.
“Hah? Kok, saya tidak mendapatkan informasinya? Bagaimana ini?” tanya Bu Suka panik, karena tinggal 15 menit sebelum lomba dimulai.
“Kami sudah berusaha infokan kembali melalui telepon kemarin pagi, Bu. Tetapi tidak ada yang mengangkat telepon,” jawab wanita itu.
Bu Suka baru teringat kalau telepon rumahnya memang agak bermasalah. Puspita hanya bisa diam. Jantungnya berdegup lebih cepat dan lebih kencang. Apakah ia akan batal ikut lomba?
Bu Suka segera menghentikan taksi yang lewat. Ia meminta supir untuk segera mengantar ke tempat yang dimaksud. Bu Suka berusaha menutupi kecemasan karena pasti mereka terlambat tiba di tempat lomba. Namun, Puspita bisa merasakan kecemasan Bu Suka. Puspita pun semakin cemas.
Pukul 09.20, mereka sudah terlambat 20 menit dari waktu dimulainya lomba. Dengan setengah berlari, Bu Suka segera menghampiri panitia lomba dan menjelaskan apa yang terjadi. Puspita tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan Bu Suka. Ia sangat takut kalau ia gugur sebelum ikut lomba.
“Puspita, kamu tetap boleh masuk, tetapi tidak ada waktu tambahan untuk kamu membaca bukunya. Kalau yang lain dua jam, kalau kamu jadinya hanya satu jam tiga puluh menit. Bagaimana? Kamu masih mau ikut lomba?” tanya Bu Suka sambil mengelus kepala Puspita.
Puspita segera mengangguk. Ia pasti bisa menyelesaikan bacaan dalam waktu yang tersisa. Ia pernah berlatih sebelumnya dan selalu bisa lebih cepat.
“Tarik nafas pelan-pelan dulu, baru mulai membaca, ya. Ibu yakin kamu bisa,” kata Bu Suka sambil tersenyum.