Ibunya menyuruh Can Syek Bong duduk. Ia memberi satu kuas, tinta cina dan kertas. "Buatlah lukisan sepuluh huruf pertama," kata ibunya.
"Kamu harus mampu menulisnya dalam gelap, seperti Ibu mampu membuat serabi dalam gelap. Kamu menulis sementara Ibu membuat serabi."
Tak lama, ibunya muncul dengan baki di tangan berisi beberapa kue serabi yang harum baunya. Ibunya menyalakan lampu dan melihat tulisan anaknya yang tidak rapi dan tidak teratur.
"Lihat kue serabi buatan Ibu," kata ibunya pada Can Syek Bong. Si anak melihat kue buatan ibunya yang halus dan sama besarnya.
"Kembalilah ke Kota Kaesong. Dan pulanglah setelah engkau mempelajari apa yang harus engkau pelajari. Engkau harus memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya," kata ibunya sambil tersenyum dan memegang bahu anaknya.
Walau lelah, Can Syek Bong terpaksa kembali ke Kota Kaesong. Berbekal beberapa butir kue serabi buatan ibunya. Alangkah sedih hati anak itu.
"Mengapa Ibu begini kejam padaku? Apakah Ibu tidak sayang padaku?" tanyanya dalam hati.
Ketika pagi tiba, ia membuka bekalnya untuk memakan kue serabi. Dikaguminya kue serabi buatan ibunya. Lembut, sama bentuk, dan harum baunya. Can Syek Bong merasa malu.
"Ibu dapat menjalankan pekerjaannya di dalam gelap gulita. Tetapi aku tidak. Tidak salah jika Ibu menyuruh aku kembali ke kota Kaesong. Masih banyak yang harus aku pelajari di sana. Agar aku berhasil menjadi orang seperti ibuku yang pandai membuat serabi," pikirnya pula.
Dimakannya kue serabi itu dengan nikmat. Lalu ia melanjutkan perjalanannya.
Lima tahun tidak terasa berlalu sudah.
Suatu malam sang Ibu mendengar suara langkah kaki di depan pondoknya. Dibukanya pintu dan tampaklah Can Syek Bong di muka pintu. Walau terlihat lelah, wajahnya penuh kegembiraan.