Tujuh Belas Agustus

By Vanda Parengkuan, Kamis, 31 Agustus 2017 | 02:08 WIB
Tujuh Belas Agustus (Vanda Parengkuan)

Pagi masih remang-remang. Sekali-sekali kukuruyuk ayam terdengar bersahut-sahutan. Kehidupan kampung belum mulai sepenuhnya. Hanya dari rumah Kakek Waris terdengar bunyi teratur kayu dibelah. Barangkali dialah warga kampung yang pertama bangun setiap hari.

Kegiatan Kakek Waris terdengar jelas setiap pagi yang sunyi: membelah kayu, menimba air sumur, dan menyapu halaman yang sempit. Ketika hari makin terang, Kakek Waris terbungkuk-bungkuk memetik sayur di kebunnya sambil bersiul. Tubuhnya masih sehat walau Katon menduga usianya mungkin sudah seratus tahun.            

Dari tempat Katon duduk meringkuk kedinginan, ia bisa melihat semua yang dikerjakan kakek itu sampai ia masuk ke dalam rumah. Tak berapa lama, asap mengepul dari bagian belakang rumahnya.

Katon mengamati rumah mungil yang sebagian dindingnya terbuat dari gedek itu. Sampai sekarang, ia belum pemah masuk ke situ. Barangkali orang lain juga begitu. Bila mencari Kakek Waris, orang-orang cukup memanggilnya dari pagar.

Mendadak Katon mendapat ide. la melempar selimut yang membungkus tubuhnya dan melompat dari atas jendela. "Yesss!" serunya. Setengah berlari, ia turun dari loteng. Tak sia-sia ia bangun pagi untuk berpikir.

"Wow...wow...tumben pagi-pagi!" Ibu menyapa.

“Ibu tak tahu, sayalah orang terpagi bangun di rumah ini!" sahut Katon sambil menyambar handuk di jemuran.

"Sikap bijaksana menyambut hari kemerdekaan kita!" celetuk Ayah. "Bangun pagi penuh semangat!"

Katon memandang Ayah sebentar. Tanpa berkata sepatah pun, ia bergerak ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian Katon telah duduk tegang di teras. la mengenakan seragam putih licin dan bersih. Sebuah dasi merah tergantung di dadanya. Matanya yang terlindung di bawah topi merah mengawasi jalan. Ketika jalan mulai lengang, Katon bergegas menyeberang jalan lalu menyelinap masuk ke halaman rumah Kakek Waris. Akhirnya ia menemukan tempat persembunyian teraman di dunia!

Di halaman belakang, ia duduk di sebuah bangku di dekat jendela terbuka. la harus tetap di sana sampai upacara tujuh belas Agustus di alun­-alun usai. Lebih baik menungggu berjam-jam daripada berpanas-panas mengikuti upacara.

"Nak..." sebuah suara lembut menyapa kala Katon termangu-mangu memandangi kebun.