Tujuh Belas Agustus

By Vanda Parengkuan, Kamis, 31 Agustus 2017 | 02:08 WIB
Tujuh Belas Agustus (Vanda Parengkuan)

"Di mana dia sekarang?"

“Sudah meninggal."

"Kapan?" Katon melangkah mendekati bufet. Di sana juga ada foto anak itu.

"Dulu, waktu zaman perang." Kakek memberi tanda agar foto itu dibawa mendekati.

“Ini ibunya, ya?" Katon meraih foto lainnya. Kakek Waris tak bersuara. la menatap lekat kedua foto. "Istri Kakek juga sudah meninggal?" tanya Katon hati-hati.

"Begini kisahnya, Nak..." Kakek Waris menarik napas. "Kakek ikut perjuangan dulu. Istri Kakek juga ikut membantu merawat pejuang yang terluka. Di suatu kejadian tembak-menembak, istri Kakek kena peluru nyasar dan meninggal…”

"Lalu?" tanya Katon tak sabar.

"Lalu?" Kakek Waris terkekeh. "Ya, Kakek jadi sebatang kara begini. Tapi tak sia-sia pengorbanan kami. Negeri ini merdeka. Kakek hidup sehat. Anak­-anak sesudah perang bisa sekolah tanpa halangan, termasuk kamu, Nak."            

"Sttt…" tiba-tiba Kakek Waris menunjuk pesawat televisi kecil di depan mereka. "Upacara 17 Agustus di istana hampir dimulai," bisiknya seraya membenahi posisi duduknya.

Katon menatap pejuang tua di sampingnya dengan beragam perasaan. Tak ia dengar nasihat tentang kelakuannya pagi itu. Walau begitu jauh di dasar hati, Katon merasa malu. Kakek Waris ikhlas kehilangan dua orang yang dicintainya pada saat berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sedangkan Katon, meluangkan satu dua jam saja untuk upacara bendera, sudah berat hati.

Katon bertekad di dalam hati, untuk lebih menghargai kemerdekaan Indonesia. Ia harus mengisi hari-hari di negeri yang merdeka ini dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan berguna.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D