Hari masih pagi. Rumah No.6 di tikungan Jalan Tanjung tampak sepi. Aku dan kawan-kawan memarkir sepeda di bawah pohon sawo. Dengan hati-hati, kami berjingkat dan mengintip lewat celah pagar yang terhalang semak belukar. Entah mengapa, kami suka sekali memata-matai rumah nomor 6 ini. Sebetulnya rumah itu biasa-biasa saja. Namun kelihatan kotor dan kurang terawat.
Kami, murid-murid SDN 04 sangat takut pada Pak Umang. Ia adalah penghuni rumah nomor 6 ini. Menurut cerita, Pak Umang yang berkumis dan berjanggut panjang itu adalah mantan narapidana. Ia pernah dipenjara karena hampir membunuh orang dalam suatu perkelahian. Banyak cerita seram mengenai Pak Umang. Entahlah, cerita itu benar atau tidak.
Anak perempuan Pak Umang baru pindah ke sekolah kami. Namanya Badai. Murid-murid perempuan suka mengejek nama yang kedengaran aneh itu. Badai juga selalu diolok-olok karena berkepala botak. Aku tak tahu mengapa rambutnya dicukur plontos seperti itu. Badai sangat pendiam. Di saat jam istirahat, ia lebih suka pergi ke perpustakaan sendirian.
Kresk! Dito menginjak ranting kering. Sssst! Desis Ucok sambil memanyunkan bibirnya. Aku cengengesan melihat ulah teman-temannya yang berlagak detektif. Minggu lalu kami dipergoki Pak Umang saat sedang mengintip seperti ini. Waktu itu ia membuka pintu pagar sambil membawa golok di tangan.Tentu saja kami lari terbirit-birit. Hiii....aku bergidik ngeri kalau mengingat kejadian itu. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, aku dan teman-teman kembali melakukan pengintaian ini. Rasa penasaran membuat kami tidak jera.
Pintu rumah nomor 6 tiba-tiba terbuka. Dari balik celah pagar yang lebar kami dapat melihat Pak Umang dan Badai keluar.
"Hei, lihat, tuh! Badai mau berangkat sekolah!" bisik Ucok.
"Eh, ayo kita jahili anak aneh itu!" sahut Dito.
"Jangan, kalau ketahuan bapaknya kita bisa celaka!" ujar Andi gemetar sambil membenahi letak kacamata minusnya yang melorot ke ujung hidung.
"Ssst...jangan berisik!" kataku memperingatkan.
Dari kejauhan tampak Pak Umang mengantar Badai hingga ke pintu pagar. Ia lalu kembali masuk ke rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
"Ayo!" Aku dan kawan-kawan bergegas mengambil sepeda lalu mengayuh pedal perlahan. Secepat kilat Ucok menyambar topi Badai dari belakang.
“Botak! Botak! Botak!" sorak kami beramai-ramai sambil tertawa terbahak-bahak. Badai tampak pucat. Ia hampir menangis di tepi pagar. Tiba-tiba pintu rumah terbuka.