Rumah Nomor 6

By Sylvana Toemon, Senin, 23 April 2018 | 05:00 WIB
Rumah Nomor 6 (Sylvana Toemon)

Aku tertegun sambil memperhatikan bekas jahitan itu. Kini aku mengerti mengapa rambut Badai dicukur sampai plontos.

"Ayo anak-anak, kalian Bapak antar ke sekolah pakai motor, ya? Sepedamu biar dititip di sini. Nanti pulang sekolah bisa kamu ambil!" kata Pak Umang kepadaku sambil meraih jaket di atas meja.

"Terima kasih, Pak!" Tiba-tiba rasa bersalah menyesak di dada. Aku merasa malu dengan prasangka burukku selama ini.

"Maafkan kesalahanku, ya," ucapku lirih sambil mengulurkan tangan pada Badai. Badai menyambutnya dengan senyum tulus. Kami bersalaman.

"Nah, begitu dong sama teman! Besok ajak kawan-kawanmu kemari. Bapak juga mau kenalan sama mereka. Sebetulnya Bapak mau mengajak kalian masuk waktu melihat kalian ngintip di pagar tiga minggu lalu. Kebetulan waktu itu Bapak sedang menebang pohon rambutan di kebun belakang. Tapi waktu Bapak buka pintu pagar, kalian malah lari!" tukas Pak Umang panjang lebar.

Ooo... pantas Pak Umang bawa golok. Rupanya ia sedang menebang pohon rambutan! Gumamku tersipu dalam hati.

“Ayo cepat, nanti kalian terlambat!" teriak Pak Umang memanasi mesin motornya.

 Aku tersenyum diam-diam. Hari ini aku mendapat pelajaran berharga yang tak akan terlupakan. Rasanya ingin cepat-cepat sampai ke sekolah dan menceritakan pengalamanku barusan pada teman-teman!

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.