Rumah Nomor 6

By Sylvana Toemon, Senin, 23 April 2018 | 05:00 WIB
Rumah Nomor 6 (Sylvana Toemon)

Astaga! Pak Umang datang! Ucok buru-buru melempar topi itu ke pinggir jalan. Lalu kami mengayuh sepeda sekencang- kencangnya.

Aku begitu terburu-buru sehingga tak memperhatikan jalan di depan. Brakk! Sepedaku menabrak tiang listrik. Aku terjatuh membentur aspal. Aduh! Aku meringis kesakitan. Teman-temanku cuma bisa menonton di kejauhan. Mereka terlalu takut untuk kembali dan menolongku.

Rasa takut yang mencekam tak dapat kusembunyikan saat melihat Pak Umang mendekat. Aku mencoba beringsut sekuat tenaga, tapi kakiku tak dapat bergerak. Pak Umang kian mendekat. Jaraknya tinggal beberapa langkah. Aku berusaha mundur dengan tubuh menggigil ketakutan.Tiba-tiba Pak Umang sudah membungkuk di hadapanku.

"Ampun, Pak! Ampuuun! Saya janji nggak nakal lagi, Pak!" Aku menjerit histeris, tangisku meledak.

Tiba-tiba tubuhku terasa melayang. Rupanya Pak Umang menggendongku masuk ke rumahnya. Aku pasrah. Tubuhku yang lemah dibaringkan di sofa ruang tamu.

"Badai, ambil kotak P3K!" samar-samar kudengar suara parau Pak Umang.

Tak lama kemudian Badai sudah duduk di sisiku sambil membawa kotak putih dengan gambar palang merah di atasnya. Pak Umang membersihkan luka-luka di siku tangan dan lututku dengan kapas beralkohol. Uh... sesekali aku meringis karena merasa pedih. Luka itu lalu ditutup dengan kain kasa dan plester. Luka-luka ringan lainnya diberi betadine.

"Nggak apa-apa, sebentar lagi juga sembuh, kok! Anak laki-laki harus kuat, jangan cengeng!" hibur Pak Umang ramah. Aku menunduk malu.

"Sakit?" tanya Badai pelan, aku mengangguk mengusap air mata.

"Jangan takut, kepalaku pernah dijahit dan rasanya nggak sakit, kok."

"Dijahit! Kenapa?"

"Soalnya di kepalaku ada penyakit yang harus dioperasi dokter. Kepalaku dibedah, terus penyakitnya diangkat, setelah itu baru dijahit!" tutur Badai polos sambil membuka topinya. Ia menunjukkan bekas jahitan di belakang kepala gundulnya.