Mama menerima pembantu baru. Namanya Mbok Tut Karsi. Kami memanggilnya Mbok Tut saja. Sebenamya, hal ini mengherankan. Sebab sebelumnya Mama berjanji tidak akan pernah mencari pembantu lagi. Itu gara-gara para pembantu sebelumnya berlaku tidak jujur. Bahkan pembantu terakhir yang bekerja di rumah kami meninggalkan rumah diam-diam sambil membawa gaunku yang terbaru.
Tak heran bila kali ini Mama menerima pembantu dengan hati-hati sekali. Mbok Tut ditanya macam-macam. Hingga berkesan Mama itu cerewet. Walau akhirnya Mbok Tut diterima bekerja.
Win dan Leni berjingkrakan.
"Yihuuuuu..., aku tak usah lagi menyapu halaman!" seru Win gembira. Melihat tingkahnya yang melompat-lompat itu, ia bak barusan kejatuhan bulan.
"Dan Leni tak perlu membantu Mama cuci piring!" jerit Leni. Sama seperti Win, ia pun berlompatan. "Kak Lena tak usah lagi ngepel."
Aku hanya berdehem.
Kehadiran pembantu, seperti yang lain, juga menyenangkanku. Ngepel bukan lagi menjadi tugasku. Kan, bisa dikerjakan Mbok Tut. Tapi kalau ingat gaunku yang hilang, aku jadi benci pada pembantu!
"Pembantu itu suka tak jujur," kataku pada Leni. Beberapa hari kemudian.
"Belum tentu," bantah Leni. "Mbok Tut kayaknya baik."
"Itu baru kayaknya," ejekku. "Belum seminggu kamu, kok, sudah tahu dia baik?"
"Benar, Io, Kak! Mama juga bilang Mbok Tut rajin."
"Pembantu mana baru bekerja tak rajin?" tukasku.