Maaf, Mbok!

By Sylvana Toemon, Senin, 23 April 2018 | 02:00 WIB
Maaf, Mbok! (Sylvana Toemon)

Mama menerima pembantu baru. Namanya Mbok Tut Karsi. Kami memanggilnya Mbok Tut saja. Sebenamya, hal ini mengherankan. Sebab sebelumnya Mama berjanji tidak akan pernah mencari pembantu lagi. Itu gara-gara para pembantu sebelumnya berlaku tidak jujur. Bahkan pembantu terakhir yang bekerja di rumah kami meninggalkan rumah diam-diam sambil membawa gaunku yang terbaru.

Tak heran bila kali ini Mama menerima pembantu dengan hati-hati sekali. Mbok Tut ditanya macam-macam. Hingga berkesan Mama itu cerewet. Walau akhirnya Mbok Tut diterima bekerja.

Win dan Leni berjingkrakan.

"Yihuuuuu..., aku tak usah lagi menyapu halaman!" seru Win gembira. Melihat tingkahnya yang melompat-lompat itu, ia bak barusan kejatuhan bulan.

"Dan Leni tak perlu membantu Mama cuci piring!" jerit Leni. Sama seperti Win, ia pun berlompatan. "Kak Lena tak usah lagi ngepel."

Aku hanya berdehem.

Kehadiran pembantu, seperti yang lain, juga menyenangkanku. Ngepel bukan lagi menjadi tugasku. Kan, bisa dikerjakan Mbok Tut. Tapi kalau ingat gaunku yang hilang, aku jadi benci pada pembantu!

"Pembantu itu suka tak jujur," kataku pada Leni. Beberapa hari kemudian.

"Belum tentu," bantah Leni. "Mbok Tut kayaknya baik."

"Itu baru kayaknya," ejekku. "Belum seminggu kamu, kok, sudah tahu dia baik?"

"Benar, Io, Kak! Mama juga bilang Mbok Tut rajin."

"Pembantu mana baru bekerja tak rajin?" tukasku.

"Nyerah, deh!" Leni bangkit dari kursinya meninggalkanku.

Sampai di pintu ia berbalik lagi. "Mbok Tut bisa mendongeng. Nahti malam ia mau mendongeng untuk kita."

"Untuk kita?"

"Kalau Kak Lena tidak mau dengar, ya untuk Leni dan Sisi saja, dong!" Leni melengos. Lalu pergi.

Benar, malamnya aku tak mau mendengar dongengan Mbok Tut. Kususupkan kepala ke bawah bantal. Namun tetap saja suara Mbok Tut terdengar. Jernih dan keras. Dongengannya bagus. Aku ikut mendengar jadinya. Tapi tetap lewat bantal. Sudah terlanjur bilang tak mau dengar soalnya.

Leni dan Sisi pasti sudah tidur, pikirku. Suara Sisi yang memotong-motong cerita Mbok Tut tak terdengar lagi. Leni juga tak terdengar omongannya. Sementara Mbok Tut melanjutkan dongengannya.

Aku pun sebenarnya sudah sangat mengantuk. Tapi kudengarkan saja dongengan Mbok Tut sampai selesai. Dan dadaku berdebar keras ketika Mbok Tut menutup ceritanya. Ini yang kutunggu-tunggu! Apa yang Mbok Tut lakukan sekarang? pikirku. Aku waspada. Aku peluk bantal kuat-kuat. Sunyi. Tak terdengar apa-apa. Aku mengintip dari balik bantal.

Astaga, Mbok Tut menuju ke arahku! Mama, aku mau diapakan! Aku ketakutan. Selama ini aku selalu bersikap bermusuhan terhadap Mbok Tut. Tentunya sekarang ia ingin balas dendam.

Hup! Sesuatu menyergap tubuhku. Kuraba dengan hati-hati. Selimut. Hmmm Mbok Tut cuma bermaksud menyelimutiku. Setelah tak terdengar apa-apa lagi aku segera bangun. Mbok Tut sudah pergi. Dugaanku meleset. Kukira Mbok Tut mau mendongeng agar punya kesempatan mencuri. Pembantu yang jujurkah dia? Aku masih curiga!

"Leni, jangan suka main-main sama Mbok Tut!" tegurku suatu kali pada adik kembarku itu.

"Memangnya kenapa?"

"Ah, kamu ini sudah dibilangi, ya, jangan!"

"Kak Lena masih mengira Mbok Tut itu pencuri?" tanya adikku itu.

"Sekarang, sih, dia tidak mencuri. Tapi nanti! Awas, bajumu hilang!"

"Hus, tak boleh curiga begitu!" Leni mendelik. Untuk pertama kalinya aku lihat matanya seperti itu. Jelek sekali.

"Cuma waspada, kok!" Leni mengomel.

Entah kenapa ia begitu ngotot membela Mbok Tut. Mungkin karena Mbok Tut pintar mendongeng. Mungkin karena ia rajin. Mungkin… Ah, ada segudang kemungkinan! Yang jelas aku dan Leni akhirnya bertengkar. Tapi kemudian kami sepakat untuk menguji Mbok Tut apakah ia pembantu yang jujur atau bukan.

Sesuai dengan rencana, aku memasukkan selembar uang kertas ribuan ke dalam kantong celana panjang kakak kami, Win, yang kebetulan ada di ember cucian. Lalu celana tersebut aku cemplungkan kembali ke ember cucian.

Tiga hari kami menunggu. Mbok Tut belum juga mengembalikan uang tersebut. Menurut dugaan kami, Mbok Tut pasti akan menemukan uang tersebut karena ia yang bertugas mencuci pakaian. Bahkan bukan saja uang, celana kakakku itu pun mendadak hilang.

Win, kakakku jadi kalang kabut. Kebetulan celana yang kami jadikan umpan adalah celananya terbaru.

"Pencuri, pencuri!" umpat Win setelah mendengar penjelasanku.

Win langsung meminta Ibu memberhentikan Mbok Tut. Ibu setuju. Aku tak tahu bagaimana cara Ibu memberhentikannya. Hilangnya celana panjang Win, akhirnya tersingkap olehku. Celana itu secara tak sengaja kutemukan di salah satu sudut gudang. Uangnya pun masih utuh. Rupanya si Broni yang menyeret celana itu ke sana. Anjing kakakku itu memang nakal. Perbuatan macam itu sering ia lakukan.

Sedihnya, kenapa hal ini tak terpikir dari dulu? Ternyata sikap curiga yang berlebihan membuatku tak berpikir panjang. Mbok Tut telah berhenti bekerja tanpa tahu jelas kesalahannya. Leni memandangku sendu. Air matanya jatuh satu-satu.

"Benar kan Mbok Tut itu baik, Kak Lena?" isaknya. Aku tak berkutik. Dadaku bergetar hebat. Rasa bersalah membuat napasku jadi sesak.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.