"Nyerah, deh!" Leni bangkit dari kursinya meninggalkanku.
Sampai di pintu ia berbalik lagi. "Mbok Tut bisa mendongeng. Nahti malam ia mau mendongeng untuk kita."
"Untuk kita?"
"Kalau Kak Lena tidak mau dengar, ya untuk Leni dan Sisi saja, dong!" Leni melengos. Lalu pergi.
Benar, malamnya aku tak mau mendengar dongengan Mbok Tut. Kususupkan kepala ke bawah bantal. Namun tetap saja suara Mbok Tut terdengar. Jernih dan keras. Dongengannya bagus. Aku ikut mendengar jadinya. Tapi tetap lewat bantal. Sudah terlanjur bilang tak mau dengar soalnya.
Leni dan Sisi pasti sudah tidur, pikirku. Suara Sisi yang memotong-motong cerita Mbok Tut tak terdengar lagi. Leni juga tak terdengar omongannya. Sementara Mbok Tut melanjutkan dongengannya.
Aku pun sebenarnya sudah sangat mengantuk. Tapi kudengarkan saja dongengan Mbok Tut sampai selesai. Dan dadaku berdebar keras ketika Mbok Tut menutup ceritanya. Ini yang kutunggu-tunggu! Apa yang Mbok Tut lakukan sekarang? pikirku. Aku waspada. Aku peluk bantal kuat-kuat. Sunyi. Tak terdengar apa-apa. Aku mengintip dari balik bantal.
Astaga, Mbok Tut menuju ke arahku! Mama, aku mau diapakan! Aku ketakutan. Selama ini aku selalu bersikap bermusuhan terhadap Mbok Tut. Tentunya sekarang ia ingin balas dendam.
Hup! Sesuatu menyergap tubuhku. Kuraba dengan hati-hati. Selimut. Hmmm Mbok Tut cuma bermaksud menyelimutiku. Setelah tak terdengar apa-apa lagi aku segera bangun. Mbok Tut sudah pergi. Dugaanku meleset. Kukira Mbok Tut mau mendongeng agar punya kesempatan mencuri. Pembantu yang jujurkah dia? Aku masih curiga!
"Leni, jangan suka main-main sama Mbok Tut!" tegurku suatu kali pada adik kembarku itu.
"Memangnya kenapa?"
"Ah, kamu ini sudah dibilangi, ya, jangan!"