Marla dan Randu muncul di hadapannya. Mereka tidak berubah.Tetap seperti sepuluh tahun lalu.
“Randu, bawalah aku ke pantai! Aku ingin bertemu Une!” perintah Puteri. Ia duduk di punggung Randu, berpegangan ditanduknya.
“SYUUUTll” Randu terbang membawa Putri ke pantai. Marla mengikuti dari belakang.
Setiba di pantai, Marla langsung berputar-putar di atas laut. Ia berteriak-teriak memekakkan telinga. Lalu, terbang kembali ke sisi Putri. Puteri Masadada heran melihat tingkah Marla.
Belum sempat ia bertanya, “PYAARR!” permukaan air laut seakan terbelah. Seekor naga raksasa tiba-tiba muncul. Sisik-sisiknya berkilat ditimpa cahaya matahari. Tampak seorang pemuda berdiri gagah di punggung naga itu. Ia memakai mahkota dari kerang laut.
“Hah? Apakah itu Dewa Laut?” Puteri Masadada memandang kaget dari tepi pantai. Randu dan Marla ikut tertegun.
“Marla, Randu! Ini aku, Pangeran Simbau, Putera Raja Gorolang. Kalian sudah lupa?” tanya pemuda itu. Dengan lincah, ia meloncat turun dari punggung naga.
“Dan, kau... kau Hembo?” tanyanya pada Puteri Masadada.
“Kau... kau... Une? Mahkota itu...”
“Iya! Ini mahkota kerang pemberianmu dulu. Aku selalu l memakainya!” ujar Une yang ternyata Pangeran Simbau, putera tunggal Raja Gorolang, penguasa laut.
Putri Masadada lalu menceritakan kesulitannya. Tentang kemarahan Raja Gorolang yang tanpa sebab dan tentang nasihat Opo Maitung.
“Hmm, aku mengerti sekarang! Ternyata ayahmu dan ayahku diadu domba oleh Opo Maitung. Rupanya ia ingin merebut tahta ayahmu. Untung kita bersahabat. Jadi, rencana jahatnya berantakan!” ujar Pangeran Simbau.
Kedua sahabat itu lalu berpisah. Pangeran Simbau pulang menemui ayahandanya. Amarah Raja Gorolang reda ketika mendengar penjelasan puteranya.
Putri Masadada juga menemui ayahandanya.
“Raja Gorolang marah karena mengira Ayah akan menyerang kerajaannya. Opo Maitung yang mengirim kabar bohong itu padanya,” cerita Putri Masadada.
Ayahanda puteri sangat marah. Opo Maitung langsung dimasukkan ke penjara.
Persahabatan Puteri Masadada dan Pangeran Simbau tetap berlangsung. Mereka tetap saling menyapa dengan sebutan “Une” dan “Hembo”.
Sampai sekarang, penduduk Pulau Sangir masih menggunakan sebutan itu. Sebutan “Une” dipakai untuk memanggil anak laki-laki sulung. Sebutan “Hembo” untuk memanggil anak bungsu.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vanda Parengkuan.