Satu Malam di Baduy

By Sylvana Toemon, Senin, 30 April 2018 | 13:00 WIB
Satu malam di Baduy (Sylvana Toemon)

Rico memandang ke kegelapan pekat di hadapannya.

“Hyuuuu… shushuhshush…” Angin berbisik-bisik di luar rumah Darpin, rumah penduduk tempatnya menginap di Baduy.

“Ah, sama angin saja takut!” omel Rico di dalam hati, “Apa kata teman-temanku di sekolah?”

Ya, Rico memang tergolong anak yang pemberani. Bahkan, terlalu berani. Badannya besar dan kuat. Ia suka menakut-nakuti teman-temannya di sekolah. Bayangkan, Rico pernah mengunci Dito dan Satria di dalam kamar mandi sekolah yang terkenal angker dan menakut-nakuti mereka dengan mematikan lampu dan memainkan rekaman kaset suara bisik-bisik misterius. Whuaaahh… Dito dan Satria menjerit-jerit ketakutan. Bahkan sampai pucat pasi dan menangis!

Karena semua teman-temannya takut kepadanya, Rico pun makin semena-mena dan bersikap sok jagoan. Segala aturan dengan berani dilanggarnya. Seperti siang ini di Baduy Luar.

Baduy Luar itu sebetulnya lebih terbuka dan lebih sedikit aturan daripada Baduy Dalam. Misalnya, di Baduy Dalam, pengunjung tidak boleh memotret. Nah, di Baduy Luar sebetulnya boleh-boleh saja. Tapi ada satu rumah yang tidak boleh dipotret. Yaitu rumah Kokolot atau kepala dusun. Katanya, nenek moyang atau leluhur Baduy tidak ingin diganggu. Wah, bukan Rico, jagoan kelas IVA, kalau tidak mencoba memotret.

Setelah menoleh kiri-kanan untuk memastikan tidak ada orang di sekitarnya, Rico mengeluarkan kamera digitalnya. Ditekannya tombol untuk memotret. Klik. Dahi Rico berkerut bingung. Tombolnya seperti ada yang tertahan. Hasil fotonya juga tidak ada. Rico mencoba lagi. Klik. Tetap tidak bisa. Klik, klik, klik. Nihil.

“Seeerrr…” Angin mendesau, menerpa Rico yang tiba-tiba merinding. Tapi dibulatkannya tekadnya dan ia mencoba sekali lagi.

“Klik. Cekrek!” Sinar blitz memancar menyinari rumah Kokolot.

Akhirnya, berhasil juga! Rico melihat hasil potretnya. Tampak sebuah rumah Kokolot, rumah kecil dari bambu yang sudah reyot sekali. Sama seperti rumah Kokolot di hadapannya. Tidak ada keganjilan sama sekali.

“Ah, sama saja, tidak ada yang berubah,” gumamnya antara lega dan meremehkan.

Hari itu lalu berlangsung seperti biasa. Rico bermain-main dengan Darpin, teman barunya yang sepantaran di Baduy. Sampai saat malam tiba dan kegelapan menyelimutinya. Begitu pekat dan sesak. Rico membentangkan jari-jarinya di depan matanya. Sama sekali tak terlihat apa-apa.