Rico memandang ke kegelapan pekat di hadapannya.
“Hyuuuu… shushuhshush…” Angin berbisik-bisik di luar rumah Darpin, rumah penduduk tempatnya menginap di Baduy.
“Ah, sama angin saja takut!” omel Rico di dalam hati, “Apa kata teman-temanku di sekolah?”
Ya, Rico memang tergolong anak yang pemberani. Bahkan, terlalu berani. Badannya besar dan kuat. Ia suka menakut-nakuti teman-temannya di sekolah. Bayangkan, Rico pernah mengunci Dito dan Satria di dalam kamar mandi sekolah yang terkenal angker dan menakut-nakuti mereka dengan mematikan lampu dan memainkan rekaman kaset suara bisik-bisik misterius. Whuaaahh… Dito dan Satria menjerit-jerit ketakutan. Bahkan sampai pucat pasi dan menangis!
Karena semua teman-temannya takut kepadanya, Rico pun makin semena-mena dan bersikap sok jagoan. Segala aturan dengan berani dilanggarnya. Seperti siang ini di Baduy Luar.
Baduy Luar itu sebetulnya lebih terbuka dan lebih sedikit aturan daripada Baduy Dalam. Misalnya, di Baduy Dalam, pengunjung tidak boleh memotret. Nah, di Baduy Luar sebetulnya boleh-boleh saja. Tapi ada satu rumah yang tidak boleh dipotret. Yaitu rumah Kokolot atau kepala dusun. Katanya, nenek moyang atau leluhur Baduy tidak ingin diganggu. Wah, bukan Rico, jagoan kelas IVA, kalau tidak mencoba memotret.
Setelah menoleh kiri-kanan untuk memastikan tidak ada orang di sekitarnya, Rico mengeluarkan kamera digitalnya. Ditekannya tombol untuk memotret. Klik. Dahi Rico berkerut bingung. Tombolnya seperti ada yang tertahan. Hasil fotonya juga tidak ada. Rico mencoba lagi. Klik. Tetap tidak bisa. Klik, klik, klik. Nihil.
“Seeerrr…” Angin mendesau, menerpa Rico yang tiba-tiba merinding. Tapi dibulatkannya tekadnya dan ia mencoba sekali lagi.
“Klik. Cekrek!” Sinar blitz memancar menyinari rumah Kokolot.
Akhirnya, berhasil juga! Rico melihat hasil potretnya. Tampak sebuah rumah Kokolot, rumah kecil dari bambu yang sudah reyot sekali. Sama seperti rumah Kokolot di hadapannya. Tidak ada keganjilan sama sekali.
“Ah, sama saja, tidak ada yang berubah,” gumamnya antara lega dan meremehkan.
Hari itu lalu berlangsung seperti biasa. Rico bermain-main dengan Darpin, teman barunya yang sepantaran di Baduy. Sampai saat malam tiba dan kegelapan menyelimutinya. Begitu pekat dan sesak. Rico membentangkan jari-jarinya di depan matanya. Sama sekali tak terlihat apa-apa.
“Shushushushushushush…” lagi-lagi angin berbisik di luar. Suaranya semakin mengerikan saja.
“Sssshhhh… washwishwoush… pssstkishushsuhsh…” Rico tercekat. Ia kenal suara itu. Suara bisik-bisik misterius. Mirip sekali dengan suara rekaman kaset yang ia pakai untuk menakut-nakuti Dito dan Satrio.
“Shhhhhaaaassshhh… Riiii…. Coooo…”
Ah macam-macam saja! Masak sekarang suara angin itu seperti memanggil namanya. Seperti… seperti suara rekaman kaset itu memanggil Dito dan Satria…
Kelebatan bayang-bayang hitam tiba-tiba lewat di hadapan Rico. Seperti sosok seseorang memakai baju hitam-hitam, pakaian penduduk Baduy Luar!
“Diiii… Toooo… Saa… triii… aaa…” Deg! Dito dan Satria? Bagaimana mungkin angin memanggil-manggil nama Dito dan Satria, seperti rekaman kasetnya? Rico mulai menggigil ketakutan.
Tiba-tiba,
“Klik. Klik. Klik.” Suara Itu seperti suara tombol kamera digitalnya.
“Klik. Klik. Klik.” Suara itu muncul dari ransel tempatnya menyimpan kamera digitalnya. Rico semakin gemetaran.
“Klik. Cekrek!” Tiba-tiba bayangan rumah Kokolot bermandikan cahaya blitz muncul di hadapan Rico. Begitu terang di tengah kegelapan malam. Meluncur mendekati Rico. Sosok-sosok berpakaian hitam-hitam muncul dari rumah itu. Mengulurkan tangan-tangan putih mereka.
“Riiiii… coooo…” deru angina membisikkan namanya begitu keras terngiang.
“Aaaaarrghh!!” tak tahan Rico menjerit juga.
“Rico! Rico!” Ayah Rico membangunkan Rico. Rico tersentak. Terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Wajah cemas ayahnya tampak diterangi sinar dari handphone. Rico langsung memeluk tubuh hangat ayahnya. Ia tersedu-sedu. Kepala Rico sampai terasa pusing, jemarinya kaku, pucat, dan dingin sekali. Ternyata ketakutan itu sama sekali bukan perasaan yang menyenangkan.
Teringat oleh Rico, wajah Dito dan Satria yang pucat dan penuh air mata saat ia membuka pintu kamar mandi. Dia malah menertawakan mereka, bukannya menenangkan mereka, seperti yang dilakukan ayahnya saat ini. Sejak saat itu Rico tidak pernah menakut-nakuti teman-temannya lagi.
Soal foto rumah Kokolot? Entah bagaimana, Rico tidak pernah berhasil menemukan satu foto itu di antara kumpulan foto-foto Baduy Luar-nya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.