“Anggrek hitam seperti milik Bu Silvia termasuk langka, cuma ada di pedalaman, seperti Kalimantan dan Papua,” cerita Taras.
“Seperti apa, sih? Apa bunganya berwarna hitam?” tanya Ota.
Taras tertawa. “Banyak orang menyangka begitu. Padahal, yang membuatnya disebut anggrek hitam hanyalah semacam lidah berwarna hitam yang menjulur di tengah kelopak bunganya yang berwarna hijau.”
Taras mencari-cari di internet dengan laptopnya, lalu disodorkan pada Ota. “Seperti ini bentuknya.” Kiria dan Luna ikut mendekat. “Bagus juga. Pantas Bu Silvia merasa kehilangan,” komentar Luna singkat.
Anak-anak itu sedang membicarakan anggrek hitam milik Bu Silvia, tetangga Taras. Anggrek-anggrek itu menghilang tiba-tiba. Semua ada lima pot. Cukup mahal, tetapi belum sampai berjuta-juta. Meskipun begitu, Bu Silvia merasa sangat kehilangan karena anggrek-anggrek itu adalah kenangan waktu beliau masih menjadi dokter di pedalaman Papua.
“Menurut Bu Silvia, kemungkinan pencurinya adalah orang-orang yang pernah ke rumahnya dan tahu kalau dia punya anggrek hitam,” cerita Taras.
“Kok bisa?” tanya Kiria.
“Bu Silvia sengaja menaruh pot-pot anggrek itu di tengah kerumunan tanaman hiasnya. Kalau tidak cermat, jarang orang yang bisa langsung melihatnya,” jelas Taras.
“Terus, Bu Silvia sudah punya daftar tersangka?” tanya Luna.
“Sementara ini, Bu Silvia mencurigai tiga orang. Satu, Pak Hamid, tukang kebunnya. Sebagai tukang kebun, Pak Hamid pasti tahu kalau Bu Silvia punya anggrek hitam. Yang kedua, Bu Nanet, tetangga Bu Silvia yang punya biro wisata. Mereka sama-sama penggemar anggrek. Bu Silvia pernah memamerkan anggrek-anggrek hitamnya pada Bu Nanet.” Taras menerangkan satu persatu.
“Ketiga?” tanya Kiria penasaran.
“Kak Ramon, keponakan Bu Silvia dari Surabaya yang kuliah di sini. Kak Ramon tinggal serumah dengan Bu Silvia. Beberapa koleksi tanaman Bu Silvia yang mahal-mahal pernah dijual diam-diam oleh Kak Ramon.”