Tentu saja berita penemuan uang ini segera tersebr ke seluruh desa. Akhirnya berita itu terdengar oleh Raja. Raja segera memerintahkan pengawalnya untuk membawa Pak Halim dan Bu Halim ke istana.
Setibanya di istana, Raja bertanya kepada Pak Halim, “Apakah benar yang dikatakan penduduk desa bahwa beberapa hari yang lalu Pak Halim menemukan sepeti uang? Jika benar, cepat serahkan uang itu padaku atau kalian akan kuhukum penjara.”
“Ampun, Tuanku. Berita itu tidak benar. Hamba tidak menemukan uang sepeser pun. Mungkin istri hamba ini sudah pikun. Memang dia yang mengatakan bahwa hamba telah menemukan uang.”
“Bu Halim, bernarkah suami Ibu telah menemukan uang?” tanya Raja.
“Betul, Tuanku. Sekarang uang itu disimpan di dalam tanah di lemari dapur,” jawab Bu Halim.
“Pengawal, geledah rumah mereka!” perintah Raja.
“Galilah tanah di bawah lemari dapur mereka. Ambillah peti uang yang ada di situ!” kata Raja.
“Tunggu dulu,” cegah Pak Halim, “hamba sungguh tidak bohong. Hamba tidak menemukan apa-apa di hutan. Mungkin istriku ini benar-benar sudah pikun!”
“Tidak, Tuanku! Hamba ingat, suami hamba menemukan uang itu dua hari sebelum kami pergi ke hutan melihat ikan-ikan berlompatan di jalan. Juga kelinci-kelinci yang ditangkap dengan mata pancing. Selain itu hamba pun melihat kue-kue yang tergantung di dahan-dahan pohon,” jawab Bu Halim.
“Ha ha ha,” Raja menertawakan Bu Halim. “Benar Bu Halim ini sudah pikut. Masa ikan dapat hidup di jala dan kelinci ditangkap dengan mata pancing.”
“Itu sebabnya hamba mengatakan ia sudah pikun,” kata Pak Halim.
“Pak Halim, karena ternyata Bu Halim telah memberikan laporan yang tak masuk akal, Pak Halim boleh pulang,” kata Raja.
Pak Halim dan Bu Halim pulang. Di rumah, Pak Halim gembira karena akalnya berhasil. Berkat kecerdikan Pak Halim, peti uang itu tetap dimiliki dan mereka hidup berkecukupan.