Di sebuah desa, hiduplah sepasang suami istri yang sangat miskin. Pasangan suami istri ini tidak mempunyai anak. Mereka hidup di sebuah gubuk yang sudah reot. Petani itu bernama Pak Halim. Pekerjaannya setiap hari menebang kayu, berburu binatang di hutan, atau menangkap ikan di laut.
Pada suatu hari, Pak Halim pergi ke hutan. Ia ingin menebang kayu karena persediaannya sudah hampir habis. Ketika Pak Halim sedang menebang kayu, tiba-tiba kapaknya menyentuh sesuatu benda keras. Pak Halim kemudian berhenti sebentar. Ia melihat sebuah kotak kayu berisi uang emas.
“Hmmm, istriku pasti senang. Mulai sekarang kami tidak lagi hidup miskin dan kelaparan,” kata Pak Halim dalam hati.
Dengant ergesa-gesa Pak Halim pulang sambil membawa kotak yang berisi uang itu.
Sesampainya di rumah, ia berteriak, “Bu, Bu! Lihat apa yang kubawa ini!”
“Pak, dari mana kau dapat uang sebanyak itu?” tanya Bu Halim.
“Ssst! Jangan keras-keras! Nanti terdengar orang lain dan uang kita diambil mereka,” kata Pak Halim menasihati istrinya.
“Bu, di mana sebaiknya uang ini kusimpan, agar tidak diambil pencuri?”
Mereka diam sejenak. Tiba-tiba Bu Halim berkata, “Simpan saja peti uang itu di dalam tanah, di bawah lemari dapur. Pasti pencuri tak akan mengira ada uang di sana,” kata Bu Halim.
Pak Halim setuju dengan usul Bu Halim. Ia segera pergi ke gudang mengambil sekop dan pacul. Tiba-tiba Pak Halim teringat, “Tidak! Tidak! Uang ini tidak boleh kusimpan di bawah lemari. Istriku suka mengobrol dengan para tetangga. Jangan-jangan nanti tanpa sengaja ia menceritakan perihal uang itu pada mereka!”
Akhirnya Pak Halim tidak jadi menyimpan uang itu di bawah lemari. Uang itu disimpannya di bawah tumpukan rumput kering tanpa sepengetahuan Bu Halim.
Malam harinya, Pak Halim tidak dapat tidur. Keesokan harinya ketika sedang makan malam, Pak Halim berkata, “Bu, Bu, tadi aku melihat beberapa ekor ikan hidup berlompatan bersama kelinci di hutan. Aku pun melihat beberapa orang menangkap ikan-ikan di sana!”
“Ah, Bapak ini mulai pikun. Mana ada orang menangkap ikan di hutan,” jawab Bu Halim tak percaya.
“Kalau tak percaya, besok pagi ikut aku ke hutan,” kata Pak Halim.
Malam harinya, Bu Halim tertidur. Pak Halim pergi ke hutan. Sesampainay di sana, ia meletakkan beberapa ekor ikan di tepi jalan. Ia juga meletakkan beberapa ekor kelinci di mata kail. Pak Halim kemudian menggantung beberapa potong kue tar di dahan-dahan pohon. Setelah selesai, pak Halim segera pulang.
Ketika jam menunjukkan pukul 6 pagi, Bu Halim membangunkan suaminya. Mereka sarapan bersama. Setelah sarapan, mereka pergi ke hutan, seperti yang dijanjikan Pak Halim kemarin.
Pak Halim mengajak istrinya ke tempat di mana ia meletakkan ikan. Bu Halim tercengang ketika melihat ikan-ikan itu menggelepar di tepi jalan. Ia juga terkejut melihat kelinci yang terkait mata kail.
“Mengapa tercengang, Bu?” tanya Pak Halim.
“Bukankah di rumah tidak ada lauk? Ambillah ikan-ikan itu untuk menjadi lauk bagi kita,” ujar Pak Halim.
“Aku masih bingung. Kok, di hutan ada ikan,” kata Bu Halim bingung.
Tiba-tiba Bu Halim melihat sebuah pohon yang dahannay penuh dengan kue tar.
“Ehh, Pak. Ada kue di pohon itu!” seru Bu Halim.
“Ibu ini bagaimana, sih? Masa tak tahu kalau kemarin dulu di sini ada hujan kue. Pada hari itu, kami para penebang pesta makan kue tar. Kalau kau mau, ambillah kue itu.”
Kemudian mereka pun pulang. Dua minggu sudah berlalu. Mengenai uang yang ditemukan Pak Halim tak seorang pun mengetahuinya. Namun, akhirnya Bu Halim menceritakan tentang uang yang ditemukan suaminya kepada para tetangga. Ia juga mengatakan kepada mereka uang itu kini disimpan oleh suaminya di dalam tanah di bawah lemari dapur.
Tentu saja berita penemuan uang ini segera tersebr ke seluruh desa. Akhirnya berita itu terdengar oleh Raja. Raja segera memerintahkan pengawalnya untuk membawa Pak Halim dan Bu Halim ke istana.
Setibanya di istana, Raja bertanya kepada Pak Halim, “Apakah benar yang dikatakan penduduk desa bahwa beberapa hari yang lalu Pak Halim menemukan sepeti uang? Jika benar, cepat serahkan uang itu padaku atau kalian akan kuhukum penjara.”
“Ampun, Tuanku. Berita itu tidak benar. Hamba tidak menemukan uang sepeser pun. Mungkin istri hamba ini sudah pikun. Memang dia yang mengatakan bahwa hamba telah menemukan uang.”
“Bu Halim, bernarkah suami Ibu telah menemukan uang?” tanya Raja.
“Betul, Tuanku. Sekarang uang itu disimpan di dalam tanah di lemari dapur,” jawab Bu Halim.
“Pengawal, geledah rumah mereka!” perintah Raja.
“Galilah tanah di bawah lemari dapur mereka. Ambillah peti uang yang ada di situ!” kata Raja.
“Tunggu dulu,” cegah Pak Halim, “hamba sungguh tidak bohong. Hamba tidak menemukan apa-apa di hutan. Mungkin istriku ini benar-benar sudah pikun!”
“Tidak, Tuanku! Hamba ingat, suami hamba menemukan uang itu dua hari sebelum kami pergi ke hutan melihat ikan-ikan berlompatan di jalan. Juga kelinci-kelinci yang ditangkap dengan mata pancing. Selain itu hamba pun melihat kue-kue yang tergantung di dahan-dahan pohon,” jawab Bu Halim.
“Ha ha ha,” Raja menertawakan Bu Halim. “Benar Bu Halim ini sudah pikut. Masa ikan dapat hidup di jala dan kelinci ditangkap dengan mata pancing.”
“Itu sebabnya hamba mengatakan ia sudah pikun,” kata Pak Halim.
“Pak Halim, karena ternyata Bu Halim telah memberikan laporan yang tak masuk akal, Pak Halim boleh pulang,” kata Raja.
Pak Halim dan Bu Halim pulang. Di rumah, Pak Halim gembira karena akalnya berhasil. Berkat kecerdikan Pak Halim, peti uang itu tetap dimiliki dan mereka hidup berkecukupan.