“Ke rumah sakit, Pak,” kata Ibu. Ia menyebutkan nama sebuah rumah sakit yang tidak asing untukku.
Biasanya setiap ada yang sakit, baik aku, Ibu, atau Ayah pasti kami pergi ke sana. Sebentar…. Jika aku tidak sakit dan ibu pun sepertinya tidak sakit, siapakah yang sakit? Ayah?
Ibu menggenggam lebih erat tanganku. Tanpa bicara, tetapi air matanya terus menetes. Perlahan-lahan ia elus kepalaku.
BACA JUGA: Ayah Pulang
“Bu, untuk apa kita ke rumah sakit?” Aku memberanikan diri bertanya.
Ibu tak kuasa. Segala beban serasa pecah menjadi tangis. Suara tangis yang sangat keras seperti yang aku dengar dari balik pintu tadi.
Aku menyesal bertanya jika membuat ibu sesenggukan lagi seperti ini.
Taksi berhenti. Ibu tak juga menjawab.
Kembali ia genggam tanganku. Disana sudah ada beberapa wajah yang aku kenal dengan seragam yang seperti Ayah pakai setiap hari. Perasaanku mulai tak enak. Mereka menyalami Ibu. Teman Ayah yang perempuan memeluknya agak lama sambil menangis juga.
“Ayah sakit apa?” tanyaku dalam hati. Tak berani tanya Ibu, takut ia menangis lagi.
Kami melewati lorong rumah sakit perlahan. Berhenti di sebuah pintu berwarna putih. Ibu tiba-tiba pingsan. Aku bingung harus apa.
Beberapa teman Ayah membantu mengangkat ibu untuk ditidurkan di sofa. Ibu terbangun dan menangis lagi. Ia menyebut-nyebut bahwa Ayah sudah tak ada lagi.