Jeritan Hati Seorang Anak

By Sylvana Toemon, Kamis, 21 Juni 2018 | 15:00 WIB
Jeritan hati seorang anak (Dok. Majalah Bobo)

Apa boleh buat. Aku hanyalah seorang anak. Aku tak berdaya.

Aku hanya bisa kecewa, kecewa, kecewa, kecewa ....

Roni

Roni duduk dengan jengkel. Ia semakin jengkel karena di luar tetap tidak ada orang yang membicarakannya.

“Rupanya mereka menganggap suratku angin lalu saja,” pikir Roni. Ia merasa makin sedih dan bernasib malang.

Pertunjukan itu tinggal tiga hari lagi. Agaknya tidak ada harapan lagi bagi Roni untuk menonton pertunjukan itu. Tiap hari kawan-kawannya membicarakan pertunjukan itu. Tiap hari teman-teman Roni membicarakan pertunjukan itu dengan penuh semangat. Heru pasti akan berusaha menyalami si robot. Roi dan Vicky sudah membeli karcis VIP supaya bisa melihat dengan jelas. Teman-teman yang lain pun akan pergi semua. Ada banyak yang membeli karcis kelas III. Sedangkan Roni tidak punya karcis sama sekali.

Tiba-tiba Roni mendengar suara desir minyak. Rupanya Ibu sedang menggoreng sesuatu di dapur. Lalu ada suara debur air di kamar mandi. Itu pasti Ayah yang sedang mandi.

Sekarang Roni sudah betul-betul yakin, tak ada gunanya berharap suratnya itu diperhatikan. Dia berusaha memusatkan pikirannya pada pelajaran sekolah. Lebih baik belajar sungguh-sungguh suapa ulangan besok berhasil baik.

Sesudah itu Roni keluar dari kamarnya. Ia merasa agak malu dan mau menyobek kertas yang tadi ditempelkannya. Roni berjalan ke ruang tengah. Di situ ada Sinta dan Rini sedang bermain halma.

Melihat Roni, Sinta berkata,”kecewa, nih, yeee!”

Roni diam saja. Ia terus berjalan ke ruang makan. Ia melihat ada dua helai kertas dan selembar karcis pertunjukan robot. Lekas-lekas Roni mendekat dan membaca surat yang sebuah lagi.

JAWAB AN ATAS JERITAN HATI SEORANG ANAK