Bobo.id - Saat makan di rumah makan atau restoran, apakah teman-teman pernah memperhatikan bumbu tambahan yang ada di atas meja?
Biasanya, wadah garam dan lada diletakkan bersebelahan. Kadang-kadang, ada juga restoran yang menyediakan botol saus tomat, saus sambal, kecap, atau cuka.
Namun, bumbu masakan yang selalu ada adalah garam dan lada. Mengapa garam dan lada selalu diletakkan bersebelahan, ya?
Garam Lebih Dulu Digunakan Sebagai Bumbu Utama
Selain diletakkan bersebelahan di atas meja, dalam berbagai resep masakan, garam dan lada juga selalu dibubuhkan berurutan, lo.
Terutama dalam masakan Eropa yang banyak menggunakan garam dan lada untuk membumbui masakan.
Rupanya, sejarah dua bumbu ini berawal dari ketidaksengajaan, lo. Yaitu dipengaruhi oleh makanan yang populer di zaman dulu.
Menurut profesor sejarah makanan Ken Albala, awalnya lada tidak diletakkan di atas meja sebagai bumbu tambahan.
Pada akhir abad pertengahan Eropa, tidak ada bumbu masakan yang diletakkan di atas meja. Semua makanan dibumbui saat masih disiapkan di dapur.
Hal ini dilakukan sampai abad ke-17.
Baca Juga : Egg Tart, Makanan Khas Portugal yang Banyak Dijumpai di Asia
Berbeda dengan lada atau bumbu masakan lainnya, garam diletakkan di atas meja. Namun dulu garam tidak diletakkan dalam botol pengocok (shaker) seperti sekarang, teman-teman.
Dulu, garam ditelakkan dalam wadah yang disebut saltcellar.
Dalam tata cara makan Italia, sejumput garam diletakkan di ujung pisau. Kemudian seorang pemotong daging yang disebut trinciante akan memberikannya pada orang yang akan makan.
Trinciante ini bukan sekadar memotong daging, lo. Ia akan melempar daging ke udara sambil memotongnya, sehingga potongan ini akan jatuh dengan perlahan ke piring orang yang dilayaninya.
Setelahnya, ia mencelupkan ujung pisau pada saltcellar dan menaruhnya ke piring orang yang akan makan.
Selain punya sejarah unik di atas, berbagai budaya di dunia menggunakan garam dalam masakannya.
Menurut profesor psikiatri dan perilaku manusia Rachel Herz, secara alamiah kita menyukai rasa garam karena tubuh kita membutuhkan garam.
Manusia juga menggunakan garam untuk mengawetkan makanan, sebelum ditemukan teknologi pendingin.
Bumbu untuk Masakan Gurih dan Bumbu Meja
Garam merupakan bumbu yang menjadi dasar masakan, teman-teman. Namun lada tidak selalu, karena biasanya lada digunakan pada masakan dengan bumbu yang lebih berat.
Namun setelah abad pertengahan, kebanyakan penggunaan sebagian besar bumbu rempah dalam masakan menurun.
Baca Juga : Di Negara Ini, Cabai Dimakan Sebagai Sayuran dalam Masakan
Ini karena awalnya bumbu masakan seperti rempah digunakan oleh orang berada. Namun kemudian bumbu jadi lebih murah. Orang-orang berada juga tidak lagi mempercayai bumbu rempah membawa manfaat kesehatan tertentu.
Di sisi lain, hidangan Prancis mulai terkenal. Dalam hidangan Prancis, kebanyakan bumbu rempah digunakan untuk hidangan pencuci mulut.
Nah, garam dan lada jarang ditemukan dalam resep hidangan pencuci mulut. Sehingga keduanya hanya digunakan untuk membumbui hidangan yang gurih saja, teman-teman.
Garam sendiri mulai diletakkan dalam botol pengocok saat produsen garam berusaha menghindari garam menggumpal di wadahnya.
Kemudian, bumbu yang diletakkan di meja menjadi awal ketika orang mulai bisa menentukan rasa yang disukainya sendiri.
Bumbu yang ada di meja juga bisa menunjukkan tradisi budaya makan yang berbeda-beda, lo. Karena pada masakan dari budaya lainnya bisa ditambahkan bumbu lain yang disukai oleh orang dengan budaya tersebut.
Misalnya di restoran makanan India, ada cabai hijau. Kemudian ada cuka di restoran makanan Tiongkok. Atau ada jeruk nipis, salsa, bawang bombai dan seledri di restoran Meksiko.
Kalau di Indonesia, selain ada garam dan lada, mungkin ada sambal juga, ya? Hihi..
Oiya, teman-teman sudah tahu belum? Meski cabai banyak dipakai sebagai bumbu masakan Indonesia, cabai asalnya bukan dari Asia, lo. Cari tahu di artikel berikut ini, yuk!
Baca Juga : Dipakai di Banyak Makanan Indonesia, Ternyata Cabai Berasal dari Sini
Source | : | npr |
Penulis | : | Avisena Ashari |
Editor | : | Avisena Ashari |
KOMENTAR