Ternyata, perpanjangan tinggal bukan Cuma satu dua hari seperti permintaan Nenek semula. Sekarang ini sudah memasuki hari keempat!
Wah, wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi Ayah masih dinas di luar kota. Duh, duh, aku mulai resah. Perlahan, kegembiraanku surut. Tetapi aku tidak berani mengeluh pada Ibu. Sebab kulihat setiap hari Ibu keletihan merawat Nenek. Hebatnya, Ibu tidak pernah mengeluh. Malah Ibu berkata, "Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua orang cenderung bertingkah seperti kanak-kanak." Oh, begitukah?
Perlahan juga aku mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum makan, aku terpaksa berdoa sendiri. Padahal biasanya aku berdoa bersama adik dan kakakku.
Baca Juga: Nasi Putih, Nasi Merah, dan Nasi Cokelat, Mana yang Lebih Baik untuk Tubuh?
Tati berdoa juga sebelum makan. Tetapi Tati lebih suka makan di kamar tidur, atau di teras rumah, sendirian. Yang tidak enaknya lagi, sewaktu lidah menyentuh makanan lezat...tak ada teman yang bisa diajak bertukar pandang girang. Begitupun saat kecewa dengan makanan yang tidak enak rasanya. Tak ada teman untuk saling bertoleh dan mencibirkan bibir. Belum lagi kerinduanku pada teman-teman sekelas. Hoi, aku rindu bermain bersama mereka. Rinduuu
Ah, ternyata Ibu tahu perasaanku. Siang itu, waktu aku duduk di bawah pohon mangga di halaman depan rumah Tante Dita, Ibu mendekati.
“Tak usah sedih, besok kita pulang!" kata Ibu sambil mengelus rambutku.
"Oh?" aku menatap Ibu.
Baca Juga: Danudirdja Setiabudhi, Warga Asing yang Menjadi Pahlawan Indonesia
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR