Setiap tanggal 17 Agustus, Pak Kulas selalu tampil dengan celana panjang abu-abu bersaku empat, dua kiri dan di kanan, dan dua di lutut. Kemejanya berwarna abu abu dengan tujuh saku. Dua di dada, dua di bawah, dua di bagian depan sebelah dalam kemeja dan satu saku besar di punggung bagian dalam.
Lalu dengan suaranya yang nyaring ia akan memimpin lomba yang disponsorinya. Kata orang, Pak Kulas tak pernah merayakan ulang tahun.
Baca Juga: Kacang Mete itu Berasal dari Tumbuhan Apa, ya? #AkuBacaAkuTahu
“Buat apa ulang tahunku diperingati, yang penting ulang tahun kemerdekaan negara kita!” kata Pak Kulas. “Berapa banyak pahlawan yang sudah gugur dalam perjuangan kemerdekaan? Kita harus bersyukur karena negara kita ini sudah merdeka. Jadi 17 Agustus harus dirayakan!”
Namun, pada 17 Agustus kali ini, Pak Kulas tidak tampak. Ada sesuatu yang hilang rasanya dalam peringatan hari proklamasi di kampung ini.
Pak Kulas memang sudah meninggal empat bulan yang lalu. Di usia yang ke-80 tahun. Kami semua bersedih dan merasa kehilangan.
Pak Kulas tidak dimakamkan di taman pahlawan. Namanya juga tidak terpampang di teve atau suratkabar.
Pak Kulas memang hanya seorang penjahit kampung. Namun, ia adalah pahlawan di hati kami dan mempunyai kenangan tersendiri. Setiap orang di kampung kami tahu kisah Pak Kulas, singkatan dari Saku ke-11.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Avisena Ashari |
KOMENTAR