"Kalian dengar?" bisik Hari dengan suara hampir tercekik, "Si Pemakan Anak itu barangkali mendengar suara kita..." Kami memandang dengan takut gubuk bambu yang terlindung dibalik semak. Sejenak aku merasa senang karena aku tidak merasa melakukan hal yang salah. Tapi kata-kata Didi membuat kelegaanku tak bertahan lama.
"Dia jahat sekali! Nenek tua itu akan menginjak kita dengan kakinya yang besar. Lalu kita dijadikan gulai. Kau tahu, kakinya itu adalah sarang semut."
"Jangan main-main kau, Didi!" tukas Ano sengit. Aku menelan ludah dengan susah payah. Perutku geli dan mual membayangkan sarang semut di kaki nenek Rat.
"Ayo pulang," ajakku lirih, "barangkali benar, kalau kita terlalu lama di sini, Nenek Rat akan membuat gulai sayur Didi", kataku mencoba melucu.
"Mita benar, kita memang harus . pulang" ujar Ano. Aku menarik napas lega diam-diam.
"Benar, Ano! Sekarang kembalikan kalungku. Lalu kita akan pulang ke rumah masing-masing", kataku sambil mengulurkan tangan.
Didi dan Hari terkekeh geli, "Hanya kami yang pulang. Kau tetap disini!" Aku terperanjat, "Apa maksudmu?" tukasku sengit.
"Maksudku, kalau kau ingin kalungmu kembali, buktikan dulu kau berani masuk ke gubuk Si Pemakan Anak itu!" seringai Didi sambil menggoyangkan kalung berbandul huruf M itu.
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR