"Nenek sendihan?" tanyaku bodoh, karena sesungguhnya aku tahu kalau dia hidup sendiri di gubuk reot ini. Tapi Nenek Rat mengangguk juga mengiyakan. Kulirik kakinya yang besar. Tapi tidak berlubang dan menjadi sarang semut seperti yang kubayangkan.
"Kata teman-teman, kaki Nenek Rat menjadi sarang semut," kataku takut-takut. Nenek Rat tertawa. Aku menatapnya bingung.
"Nenek tak pernah punya sarang semut di kaki. Lihat ini!" ujarnya sambil mengangkat sebelah kakinya ke arahku. 'Tapi Nenek sendiri heran, kenapa semut suka sekali dekat-dekat di tubuh Nenek.
Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Diperhatikan untuk Menjadi Pendongeng yang Baik #MendongenguntukCerdas
Pakaian-pakaian kotor selalu dirubung semut," katanya sambil menggelengkan kepala bingung.
"Barangkali Nenek sakit gula", jawabku. Tiba-tiba aku mendapat akal. "Nek, bagaimana kalau Nenek Rat ke rumah Mita hari ini. Agak jauh, memang. Di ujung desa. Tapi Ayah Mita seorang dokter. Ayah pasti tahu apa yang bisa dilakukan untuk Nenek!" Kuraih tangan besar, dekil, dan keriput itu sambil tersenyum. "Khusus Nenek Rat, gratis!" bisikku sambil mengedipkan mata.
"Sekarang juga?" seru Nenek Rat senang. Aku mengangguk. Bangga juga membayangkan ketakutan telah kukalahkan. Dan tentunya Didi, Hari, dan Ano akan mengembalikan kalungku sambil tertunduk malu.
Cerita oleh: Yuniar Khairani. Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR