Bobo.id - Tahukah teman-teman, tepat pada hari ini, 7 Juli adalah peringatan Hari Cokelat Sedunia?
Menurut sejarawan, 7 Juli dipercaya sebagai hari di mana cokelat pertama kali diperkenalkan di Eropa sekitar tahun 1550-an.
Namun, Hari Cokelat Sedunia sendiri baru dirayakan pertama kali di tahun 2009.
Cara menikmati perayaan ini adalah dengan memberikan hadiah cokelat, menikmati cokelat, ataupun membuat makanan dari cokelat.
Tapi, sebenarnya bagaimana awal mula sejarah pembuatan cokelat hingga dikenal dan dikonsumsi masyarakat seluruh dunia, ya?
Agar tidak penasaran, cari tahu melalui penjelasan berikut, yuk!
Sejarah Cokelat
Cokelat yang biasa teman-teman konsumsi berasal dari biji kakao. Pohon kakao ini sudah dibudidayakan oleh suku Maya, Toltec, dan Aztec yang ada di Amerika, lebih dari 3.000 tahun yang lalu, lo.
Pada masa itu, biji kakao diolah dan dikonsumsi sebagai minuman khusus, ketika menjalankan upacara tradisional oleh suku asli Amerika.
Baca Juga: 7 Jenis Minuman yang Aman untuk Pasien Diabetes, Cokelat Panas hingga Air Kelapa
Bahkan, karena berharga biji kakao juga dijadikan alat tukar oleh suku asli Amerika.
Suku Maya juga mempercayai kalau para dewa mengonsumsi biji kakao dan menyucikannya.
Jadi, sering kali para peneliti menemukan semangkuk biji kakao pada pemakaman leluhurnya. Karena, dianggap berguna pada kehidupan selanjutnya.
Cokelat Dikenal di Eropa
Masyarakat Eropa pertama kali mengenal cokelat pada tahun 1550, akibat Christopher Columbus berlayar kembali ke Eropa dengan membawa biji kakao.
Pelaut dari Italia itu memperkenalkannya pada masyarakat Spanyol tahun 1502.
Selain itu, menurut sumber lain biji kakao pernah disajikan kepada Hernan Cortes, seorang penakluk wilayah Meksiko oleh penguasa Aztec di Meksiko bernama Montezuma II.
Lalu, Hernan Cortes pun memperkenalkan minuman yang diolah dari biji kakao tersebut kepada masyarakat Spanyol pada 1544.
Namun, barulah pada tahun 1585 pengiriman biji kakao tercatat pertama kali tiba di Spanyol, dikirim dari Veracruz, Meksiko.
Baca Juga: Sama-Sama Lezat, Ini 5 Perbedaan Brownies Panggang dan Brownies Kukus, Lebih Suka Mana?
Lalu, agar lebih sesuai dengan lidah orang Spanyol, minuman cokelat itu dicampuri dengan gula tebu dan kayu manis agar tidak pahit.
Karena bahan bakunya harus diimpor dari Amerika, maka minuman cokelat ini harganya mahal dan hanya bisa dikonsumsi oleh kalangan bangsawan.
Seiring dengan populernya cokelat dan mulai banyak peminatnya, negara-negara Eropa mulai membudidayakan pohon kakao di wilayah koloninya yang ada di seluruh dunia.
Hal ini membuat permintaan biji kakao di Eropa terpenuhi.
Cokelat Menjadi Makanan
Cokelat mulai jadi makanan dan tidak hanya diolah menjadi minuman saja, pada 1828.
Pada masa itu, seorang kimiawan dari Belanda bernama Coenraad Johannes van Houten, mengenalkan mesin pemeras biji kakao.
Fungsinya untuk memeras lemak mentega dari biji kakao yang sudah dipanggang.
Dari mesin ini, kita bisa menghasilkan bubuk kakao yang dapat dicairkan atau dituangkan ke dalam cetakan, hingga menjadi cokelat padat.
Baca Juga: Tak Hanya Lezat, 5 Makanan Ini Ternyata Juga Bisa Tingkatkan Daya Ingat, Salah Satunya Cokelat
Cokelat padat batangan ini bisa dimakan dan digemari oleh masyarakat luas. Sejak itulah, harga cokelat mulai turun dan bisa dinikmati semua kalangan.
Nah, itulah pengenalan sejarah penyebaran cokelat dari Amerika ke seluruh dunia, pada perayaan Hari Cokelat Sedunia yang jatuh setiap tanggal 7 Juli.
Saat ini, cokelat tetap laku dan banyak variasinya, karena harganya semakin terjangkau.
(Penulis: Taufieq Renaldi Arfiansyah)
---
Baca Lagi: |
Sejarah cokelat (halaman 1) |
Cokelat dikenal di Eropa (halaman 2) |
Cokelat menjadi makanan (halaman 3) |
Tonton video ini, yuk!
----
Ayo, kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Bisa Mengisi Waktu Liburan, Playground Berbasis Sains Interaktif Hadir di Indonesia!
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Thea Arnaiz |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR