"Untuk belajar itu, kau harus kuat, sabar, dan rendah hati,” kata pendeta tua itu. "Aku khawatir kau tidak akan tahan dan kelelahan."
"Saya akan mencobanya," kata Wang.
Pendeta tua itu ternyata punya banyak murid. Wang bergabung dengan mereka. Ia menginap di biara bersama murid-murid pendeta tua itu.
Pagi berikutnya, pendeta tua itu memanggil Wang, dan memberinya kapak. Ia menyuruh Wang keluar bersama murid yang lain untuk memotong kayu bakar. Wang mencoba patuh. Ia bekerja selama lebih dari sebulan sampai tangan dan kakinya melepuh. Diam-diam ia pulang ke rumahnya.
Suatu malam, Wang kembali ke biara itu. Di dalam biara, ia melihat dua kakek tamu sedang duduk minum teh dengan pendeta tua, gurunya. Ketika hari mulai gelap, suasana di biara itu menjadi gelap, karena tidak ada lampu atau lilin. Pendeta tua itu mengambil gunting dan memotong selembar kertas menjadi bulat. Kertas bulat itu lalu ia tempelkan pada dinding. Seketika kertas itu berubah menjadi seperti bulan yang bercahaya terang memesona.
“Kedua kakek yang menemani guruku, pasti juga manusia abadi,” pikir Wang.
Tak lama, para murid datang berkerumun dan menunggui mereka. Salah satu kakek tamu itu berkata, “Mari kita merayakan kebersamaan kita.”
Ia mengambil ketel kecil berisi teh di meja, dan menuang isinya ke cangkir para murid. Wang melihat dengan takjub. Bagaimana mungkin ketel sekecil itu bisa berisi teh yang cukup untuk puluhan murid yang ada di situ. Semua murid mengantre untuk mendapatkan teh istimewa yang lezat itu. Mereka yang berada di barisan belakang tampak cemas, takut kehabisan. Namun, ternyata semua murid kebagian teh istimewa.
Kakek tamu yang satunya lalu berkata, “Malam ini sangat indah. Tapi, rasanya sayang kalau berpisah. Teh istimewaku sudah hampir habis. Mari kita minum lagi di istana di bulan.”
Pendeta tua itu membawa mejanya dan mereka bertiga lalu melangkah masuk ke bulan buatan di dinding. Mereka bertiga terlihat jelas sedang minum di bulan. Wang dan para murid seperti sedang melihat ke pantulan di cermin.
Lama-kelamaan, bulan itu menjadi semakin temaram.
Baca Juga: Dongeng Anak: Pippo dan Gato #MendongenguntukCerdas
Kenapa Air Sering Tumpah saat Kita Memindahkannya dari Gelas? Ini Penjelasannya
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR