Ada beberapa versi terkait alasannya tak menamatkan, salah satunya karena sakit hingga tak bisa melanjutkan pendidikan.
Begtitu keluar dari STOVIA, Ki Hajar Dewantara lalu menjadi seorang wartawan di beberapa media surat kabar, seperti De Express.
Tulisannya sangat komunikatif, tajam, dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Buntut dari tulisan itu, Ki Hajar Dewantara dibuang, diasingkan, dan mendapat hukuman bersama Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusumo.
Setelah kembali ke Indonesia, Ki Hajar Dewantara terus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia, terutama di bidang pendidikan.
Ia berpendapat bahwa pendidikan adalah sebuah kunci untuk memajukan dan mengembangkan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu pada tahun 1922, ia mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan untuk rakyat Indonesia.
Ia juga menyadari bahwa pada saat itu, pendidikan di Indonesia masih sangat terbatas dan hanya bisa diakses oleh segelintir orang saja.
Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada anak-anak tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Tak hanya bagi masyarakat kurang mampu, Ki Hajar Dewantara juga memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan.
Ia percaya bahwa pendidkan adalah hak semua orang tanpa terkecuali, termasuk bagi kaum perempuan, teman-teman.
Baca Juga: Museum Dewantara Kirti Griya, Peninggalan Ki Hajar Dewantara
Source | : | Kompas.com,kemdikbud.go.id,Chatgpt (AI) |
Penulis | : | Fransiska Viola Gina |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR