Bobo.id - Pada materi sejarah kelas 12 SMA, kita akan belajar tentang penyebab kegagalan demokrasi parlementer.
Sejak merdeka, Indonesia telah banyak menerapkan sistem demokrasi. Salah satunya demokrasi parlementer.
Demokrasi parlementer atau liberal adalah demokrasi yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1950-1959.
Disebut demokrasi liberal karena sistem politik dan ekonomi yang berlaku menggunakan prinsip liberal.
Saat demokrasi ini berlaku di Indonesia, pemerintah bertanggung jawab pada parlemen, bukan presiden.
Bersumber dari Kompas.com, demokrasi parlementer hanya bertahan 9 tahun. Apa sebab kegagalannya, ya?
Demokrasi parlementer berakhir saat dikeluarkannya Dekrit oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959.
Dekrit adalah norma atau keputusan hukum yang dikeluarkan oleh presiden sebagai kepala negara.
Isi dari dekrit presiden itu adalah membubarkan konstituante dan kembali pada UUD tahun 1945.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kegagalan demokrasi parlementer di Indonesia. Berikut penjelasannya:
Pada Demokrasi Parlementer, ada konsepsi presiden terkait pembentukan pemerintahan gotong royong.
Baca Juga: Sejarah Singkat dan Pengertian Demokrasi Menurut Ahli, Materi PPKn
Ini artinya, di pemerintahan akan dilibatkan semua kekuatan politik, termasuk Partai Komunis Indonesia.
Lewat konsepsi ini, presiden juga ingin membentuk Dewan Nasional yang melibatkan semua organisasi.
Konsepsi Presiden dan Dewan Nasional ini ditentang oleh sejumlah partai politik, terutama Masyumi dan PSI.
Mereka menganggap pembentukan Dewan Nasional adalah pelanggaran terhadap konstitusi negara.
Sebagai sebuah negara yang sudah merdeka, maka Indonesia harus memiliki idelogi nasional untuk pedoman.
Kewenangan untuk merumuskan ideologi nasional negara Indonesia ini adalah tugas Dewan Konstituante.
Sayangnya, Dewan Konstituante mengalami jalan buntu dan ideologi nasional tidak bisa ditetapkan saat itu.
Ini karena ada pertentangan antara dua kubu politik. Ada yang menginginkan Islam, ada juga yang Pancasila.
Ketika pengambilan suara dilakukan, tidak pernah bisa tercapai kesepakatan yang diharapkan semua pihak.
Politik aliran adalah keadaan ketika sebuah kelompok atau organisasi dikelilingi oleh organisasi massa.
Saat Demokrasi Parlementer terjadi dominasi politik aliran yang menyebabkan banyak terjadi konflik.
Baca Juga: Ciri-Ciri Demokrasi dan Pengertian Menurut Para Ahli, Materi PPKn
Akibat politik aliran ini, setiap konflik yang terjadi di Indonesia cenderung meluas melewati batas.
Hal inilah yang akhirnya membawa dampak yang sangat negatif terhadap stabilitas politik negara.
Ketidakstabilan politik membuat negara tidak simbang hingga menimbulkan kegagalan dalam demokrasi.
Ketika demokrasi parlementer berlangsung, struktur sosial dengan tegas membedakan kedudukan rakyat.
Pembedaan yang dilakukan ini tidak mendukung keberlangsungan demokrasi di Indonesia, teman-teman.
Banyaknya masyarakat yang berada di kelas bawah akan membuat politik menjadi sulit untuk dihargai.
Bersumber dari Kompas.com, ini berakibat pada semua komponen di masyarakat jadi sulit disatukan.
Seiring berjalannya waktu, hal tersebut hanya dapat mengganggu stabilitas politik dan juga pemerintah.
Dampaknya, pemerintah yang sedang berjalan jadi lebih mudah untuk dijatuhkan atau digantikan.
Apalagi pada saat itu peran dari lembaga hukum juga sangat lemah, tidak adil, dan juga tidak transparan.
Nah, itulah beberapa penyebab kegagalan demokrasi parlementer di Indonesia. Semoga bisa bermanfaat, ya.
Baca Juga: Apa Saja Perbedaan Penerapan Demokrasi Masa Orde Baru dan Reformasi?
----
Kuis! |
Apa yang dimaksud dengan dekrit? |
Petunjuk: cek di halaman 1! |
Lihat juga video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Fransiska Viola Gina |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR