Aceh tercatat dalam sejarah, telah melahirkan perempuan-perempuan pejuang yang ikut berperang melawan penjajah. Siapa saja perempuan pemberani dari Aceh itu?
Laksamana Malahayati
Keumalahayati atau Malahayati lahir tahun 1580-an. Ia dikenal sebagai panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ali Riayat Syah Al-Mukammil (1589-1604).
Malahayati adalah putri bangsawan Aceh. Setelah lulus dari akademi militer Mahad Baitul Maqdis di Aceh, Malahayati bekerja di istana sebagai kepala pengawal dan protokol istana.
Ketika suami gugur dalam perang melawan Portugis di Teluk Haru, Malahayati memohon kepada Sultan untuk membentuk armada perang yang terdiri dari istri-istri para pahlawan yang telah gugur dalam perang. Sejak itu Malahayati diangkat menjadi panglima armada tersebut yang dikenal dengan armada Inong Balee.
Armada Inong Balee dilengkapi lebih 100 kapal perang dengan 2000 pasukan. Dengan kekuatan sebesar itu, armada asing yang hendak melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar.
Berkali-kali Malahayati menghajar kapal Belanda. Namun yang paling terkenal adalah ketika ia menyerang kapal Belanda pada tanggal 11 September 1599 dan menewaskan Cornelis de Houtman.
Pada tahun 1606, Malahayati gugur saat berperang menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang hendak menguasai Aceh. Kehebatan Malahayati sebagai laksamana angkatan laut dikenal di negara Eropa, Arab, Cina dan India.
Cut Nyak Dhien lahir tahun 1848. Ia dikenal sebagai pejuang perempuan berhati baja karena bersikeras terus melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Cut Nyak Dhien adalah putri seorang kepala kampung di wilayah VI Mukim. Menginjak remaja, ia menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra kepala kampung Lamnga XIII.
Ketika daerah VI Mukim dikuasai Belanda, Cut Nya Dhien dan bayinya harus mengungsi. Ketika suaminya gugur dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarum, Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Setelah menikah dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangannya melawan Belanda. Bersama pasukan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien melakukan gerilya.
Namun dalam perang merebut Meulaboh dari Belanda, Cut Nyak Dhien kembali kehilangan suaminya. Teuku Umar gugur di medan laga.
Dengan pasukan yang tersisa, Cut Nyak Dhien terus melakukan perang gerilya melawan Belanda. Pada tahun 1901, Cut Nyak Dhien tertangkap Belanda dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat dan wafat di sana.
Cut Nyak Meutia lahir tahun 1870. Ia dikenal sebagai pejuang melawan Belanda dari tanah Aceh.
Pada awalnya, ia berjuang bersama suaminya Teuku Cik Tunong. Namun, suaminya gugur dalam peperangan melawan Belanda di pantai Lhokseumawe. Cut Nyak Meutia lalu menikah dengan Pang Nagroe, seorang pejuang sahabat suaminya. Cut Nyak Meutia lalu bergabung dengan pasukan Teuku Muda Gantoe.
Dalam peperangan melawan Belanda di Paya Cicem, Cut Nyak Meutia kembali kehilangan suaminya. Dengan sisa-sisa pasukannya, Cut Nyak Meutia terus berjuang melawan Belanda. Namun dalam perang di Alue Kurieng, Cut Nyak Meutia gugur.
Pocut Baren
Pocut Baren lahir 1880. Ia dikenal sebagai ulama perempuan dan pejuang yang gigih dalam melawan Belanda. Ia pernah bergerilya bersama Cut Nyak Dhien. Meskipun Cut Nyak Dhien tertangkap dan suaminya gugur dalam pertempuran melawan Belanda, Pocut Baren terus berjuang tak kenal lelah. Karena serangan Belanda cukup gencar, pasukan Pocut Baren bersembunyi di sebuah gua.
Untuk menangkap Pocut Baren, pasukan Belanda membakar hutan di sekitar gua, sehingga pasukan Pocut Baren kacau balau.Dalam peristiwa itu, Pocut Baren tertembak kakinya dan luka parah. Pocut Baren akhirnya wafat di kampung halamannya.
Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan adalah keturunan bangsawan Aceh. Ia dikenal sebagai satu-satunya keluarga Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap anti Belanda. Semangat anti Belanda itu diwariskan kepada putra-putranya.
Setelah berpisah dengan suaminya, Tuanku Abdul Majid yang telah menyerah kepada Belanda, Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap bergerilya melawan Belanda.
Namun, salah satu putranya, Tuanku Muhammad Batee tertangkap dalam perang di Tangse dan dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara. Tak lama kemudian, Pocut Meurah Intan tertangkap dan dibuang ke Blora, Jawa Tengah, dan meninggal di sana.
Sejarah telah mencatat, perempuan Aceh adalah perempuan yang gigih dalam membela bangsa dan menegakkan kedaulatan negara.
Sumber foto: malahayati.ac.id, alchetron.com
Penulis | : | Sigit Wahyu |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR