"Tidak, Min, sungguh aku sekarang tidak berminat belajar tari Bali. Dulu memang aku berminat, tetapi sekarang aku tidak sempat!" demikian penjelasan Weni pada Hermin di telepon.
Ibu mendengar percakapan itu. Setelah Weni menutup gagang telepon, Ibu bertanya, "Telepon dari Hermin, Wen?"
"lya, Bu!" jawab Weni, lalu kembali menekuni PR-nya. Petang hari itu cuaca cerah, tetapi Ibu merasa ada sesuatu yang kurang beres pada anaknya.
"Sudah lama Hermin tidak main ke sini, ya?" tanya Ibu lagi.
"lya, banyak PR, Bu. Kami sama-sama sibuk belajar!" jawab Weni.
Agar Ibu tidak bertanya lagi, Weni menjelaskan, "Tadi Hermin memberitahu. Kursus tari Bali di gelanggang remaja akan membuka kelas baru minggu depan. Hermin mau ikut!"
"Bagaimana dengan kamu sendiri?" tanya Ibu lagi.
"Ah, aku tidak sempat sekarang!" jawab Weni. Ibu diam. la maklum apa yang dimaksud dengan "tidak sempat".
Akhir-akhir ini Weni akrab dengan Vina, anak tetangga baru yang duduk di TK B. Umurnya baru lima tahun. Weni tak punya adik, dan tampaknya kedua anak itu saling menyukai.
Sebetulnya tidak ada masalah. Tapi, makin lama waktu Weni habis tersita oleh Vina. Akhirnya Weni malas bergaul dengan kawan-kawan sebayanya. Bahkan, kawan dekat Weni, Hermin, juga menjauh, karena sudah beberapa kali Weni menolak ketika ia diajak Hermin ke toko buku, ke perpustakaan atau ke rumah teman lain. Weni sungguh sibuk dengan "adik baru"-nya.
Baru saja Weni selesai belajar, terdengar suara manja memanggil, "Kak Weniiii, Kak Weniii!" Weni segera keluar dan membukakan pintu. Siapa lagi kalau bukan Vina dan susternya yang selalu berseragam putih itu.
"Kak Weniii, yuk ke rumah Vinaaa. Yuk kita nonton video Donal Bebek!" ajak Vina manja.
"Kak Weni belum mandi. Vina sudah mandi?" tanya Weni.
"Sudah. Tapi Vina belum makan. Vina maunya makan disuapi Kak Weni sambil nonton video!" kata Vina. "Kak Weni sekarang mandi, tapi yang cepat yaaa!"
"lya, Kak Weni mau mandi. PR-nya sudah dibuat belum, ayooo?" tanya Weni.
Vina tertawa. Giginya yang putih kecil-kecil dan lesung pipitnya tampak. Dun, manisnya. Weni tidak tahan dan dengan gemas mencubit pipi Vina.
"Nah, ketahuan. Vina belum buat PR, ya?" Weni menegaskan.
"lya, buat PR nya nanti saja, tunggu Kak Weni datang!" Vina mengaku.
Weni merasa senang. Ia merasa sangat dibutuhkan oleh Vina.
"Oh, jangan begitu. Sekarang Vina pulang dulu dan buat PR-nya. Nanti kalau sudah selesai Kak Weni periksa!" kata Weni.
Vina dan susternya pergi. Ibu segera berkata, "Wen, kamu lupa. Nanti sore Frida ulang tahun, kan! Bukankah kita semua mau pergi ke sana?"
"Tidak, Bu. Kali ini aku tidak ikut. Tolong sampaikan saja salamku pada Frida!" Weni menolak. "Aku mau menemani Vina!"
Ibu menggeleng-gelengkan kepala.
"Frida, kan, saudara sepupumu. Masak kamu tidak mau datang ke pesta ulang tahunnya? Terus terang persahabatan kamu dan Vina sudah tidak sehat. Vina makin manja dan tergantung padamu. Kamu sendiri mengorbankan keinginan belajar tari Bali demi Vina!" tegur Ibu.
"Tapi aku, kan, bermaksud baik, Bu. Vina kurang kasih sayang. Ibu dan ayahnya sering pulang malam, terlalu sibuk bekerja. Susternya tak pandai mendidiknya. Buktinya Vina belum buat PR didiamkan saja!" Weni berusaha membela diri.
"Benar, tapi bukan tugas kamu untuk mendidik Vina. Kamu bisa meluangkan waktu ala kadarnya. Tapi kamu juga harus berkawan dengan anak-anak sebayamu. Dan hubungan dengan saudara harus dijaga. Bisa-bisa kamu tidak punya kawan nanti!" nasihat Ibu.
"Cobalah kamu pikirkan baik-baik!" akhirnya Ibu berkata.
Weni masuk ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, ia pergi ke rumah Vina, la memeriksa PR Vina, menyuapinya makan sambil nonton video Donal Bebek, dan mendengarkan celoteh Vina.
Baru saja Vina selesai makan, ibu dan ayah Vina pulang. Mereka mau mengajak Vina ke dokter gigi, jadi Weni pulang ke rumah.
Suasana di rumah sepi, karena Ayah, Ibu dan kedua kakak Weni sudah berangkat ke rumah Frida. Weni membayangkan senangnya makan enak di pesta sambil bersenda gurau dengan sanak keluarga. Namun, tak mungkin ia menyusul naik bis, karena rumah Frida cukup jauh. Dicobanya menelepon Hermin, tetapi Hermin sedang pergi ke Gelanggang Remaja dengan Ita dan Novi.
Weni duduk di sofa sendiri. Ia mulai memikirkan nasihat Ibu. Benar juga, seharusnya ia membatasi pergaulannya dengan Vina. Tapi, bagaimana? Vina sudah begitu lekat padanya. Juga ia akan ketinggalan dengan kawan-kawan bila tidak ikut kursus tari Bali. Bukankah sebenarnya ia masih menginginkannya? Weni terus berpikir-pikir.
Akhirnya ia menarik napas lega. la teringat akan Lulu yang tinggal di ujung jalan. Dan Titi, anak tetangga seberang rumah. Kedua anak itu sebaya dengan Vina. Besok ia akan memperkenalkan Vina pada kedua anak itu, lalu mengajaknya main bersama. Lama-lama Vina tentu bisa berkawan dan tidak tergantung pada Weni lagi. Dan Weni bisa main sekali-sekali dengan Vina. Hubungannya dengan Hermin akan dekat kembali seperti dulu.
Sayangnya, sekarang mau tak mau ia harus sendirian di rumah. Apa boleh buat. Weni mondar-mandir, tak tahu apa yang harus dikerjakan. Namun tak lama kemudian ia sudah asyik membaca buku cerita. Satu hal yang sudah lama tidak dilakukannya. Ah, asyiknya!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR