"Eh....enggak! Kok, namanya Sri! Hahaha, pasti anak udik, ya?" Sisil berseloroh.
"Hahaha....Sriayem kali," tambah Mimin.
"Huss!" bentak Mira.
"Memangnya kau ini orang mana, sih? Kan, sama-sama makhluk Tuhan dan sama-sama bangsa Indonesia!" bantah Mira.
"Bagiku, entah dia anak udik, entah itu anak metropolitan, yang penting dia mengundangku panen duku! Asyik, kan?"
Panen duku? Kontan saja mereka berteriak, "Aku ikut! Aku ikut!" Huh, kompaknya kalau soal makan.
"Apa kalian tidak malu meminta makanan pada anak udik?" Mira menantang.
"lya, deh... diralat," kata Sisil.
"Sri bukan anak udik. Tapi, ia sahabat kita yang baik hati, oke?”
"Oke,” jawab mereka serempak disusul gelak tawa.
Mira geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Tak lama kemudian bel berdentang. Mereka masuk kelas dan memulai pelajaran. Ketika berjalan pulang sekolah, Mira membaca surat itu. Sesekali, ia tersenyum kecil. Bangga rasanya.
Hai.... Mira...Masih ingat aku? Sri dari Desa Pagergunung, RT 05/ I. Anak Pak Partono, tukang andong. Kapan main lagi ke rumahku? Masih ingat, kita berkenalan beberapa bulan lalu di pasar desa? Waktu itu kau mau ke rumah nenekmu di Desa Meranti. Kita naik andong ayahku, kau bertanya dalam bahasa Jawa. ‘Sakniki musim napa nggih?’ (Sekarang musim apa ya?) Ha, pintar juga anak Jakarta ini berbahasa daerah. Tapi kalau ingat caramu mengucapkan, aku jadi geli. Pertanyaan itu sampai sekarang masih kuingat. O ya, pohon duku yang kautanyakan dulu itu sudah berbuah. Tapi, sekarang belum enak. Kata Ayah, 3 minggu lagi akan dipetik. Mau nggak kau ke sini lagi. Kau boleh makan sepuas-puasnya dan boleh membawa pulang. Ayahku punya 8 pohon duku. Nenek punya banyak. Tapi jauh di gunung sana.
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR