"Hiii, asyik! Musim duku!" teriak Mira sambil mengacungkan sepucuk surat pada saat istirahat. Teman-teman Mira terperanjat. Huh, tumben betul Mira bertingkah begitu rupa.
"Nenekmu di kampung panen duku ya, Mir?" tanya Sisil.
"O, bukan nenekku! Temanku, Sri," jawab Mira. "Dia punya kebun."
Sri? Siapakah dia? Tak seorang pun teman Mira yang mengenalnya. Teman mereka tak ada yang bernama Sri. Mira lalu menjelaskan, "Sri adalah sahabat baruku."
"O ya?" teman-teman Mira heran.
"Begitulah," kata Mira.
"Dua bulan lalu kami berkenalan, kini suratnya sudah datang."
"Dia baik sekali," kata Ririn.
"Wah, sangat baik," tandas Mira.
"Padahal, aku sendiri sudah hampir lupa."
"Sayang ya Mir."
"Sayang kenapa...?" Mira memandang Sisil.
"Eh....enggak! Kok, namanya Sri! Hahaha, pasti anak udik, ya?" Sisil berseloroh.
"Hahaha....Sriayem kali," tambah Mimin.
"Huss!" bentak Mira.
"Memangnya kau ini orang mana, sih? Kan, sama-sama makhluk Tuhan dan sama-sama bangsa Indonesia!" bantah Mira.
"Bagiku, entah dia anak udik, entah itu anak metropolitan, yang penting dia mengundangku panen duku! Asyik, kan?"
Panen duku? Kontan saja mereka berteriak, "Aku ikut! Aku ikut!" Huh, kompaknya kalau soal makan.
"Apa kalian tidak malu meminta makanan pada anak udik?" Mira menantang.
"lya, deh... diralat," kata Sisil.
"Sri bukan anak udik. Tapi, ia sahabat kita yang baik hati, oke?”
"Oke,” jawab mereka serempak disusul gelak tawa.
Mira geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Tak lama kemudian bel berdentang. Mereka masuk kelas dan memulai pelajaran. Ketika berjalan pulang sekolah, Mira membaca surat itu. Sesekali, ia tersenyum kecil. Bangga rasanya.
Hai.... Mira...Masih ingat aku? Sri dari Desa Pagergunung, RT 05/ I. Anak Pak Partono, tukang andong. Kapan main lagi ke rumahku? Masih ingat, kita berkenalan beberapa bulan lalu di pasar desa? Waktu itu kau mau ke rumah nenekmu di Desa Meranti. Kita naik andong ayahku, kau bertanya dalam bahasa Jawa. ‘Sakniki musim napa nggih?’ (Sekarang musim apa ya?) Ha, pintar juga anak Jakarta ini berbahasa daerah. Tapi kalau ingat caramu mengucapkan, aku jadi geli. Pertanyaan itu sampai sekarang masih kuingat. O ya, pohon duku yang kautanyakan dulu itu sudah berbuah. Tapi, sekarang belum enak. Kata Ayah, 3 minggu lagi akan dipetik. Mau nggak kau ke sini lagi. Kau boleh makan sepuas-puasnya dan boleh membawa pulang. Ayahku punya 8 pohon duku. Nenek punya banyak. Tapi jauh di gunung sana.
Jangan lupa kirim surat dulu. Kapan tanggalnya dan jam berapa sampai di pasar. Nanti biar aku ajak Ayah menjemputmu di pasar. Soalnya, kalau lagi musim buah, andong Ayah dipakai untuk mengangkut buah-buahan. Jadi aku harus bilang dulu pada Ayah kalau mau menjemputmu. O ya, kata Ayah, buah duku di kota mahal, ya? Berapa sekilonya? Kalau di sini Rp 250,00
Empat kali empat enam belas, sempat tidak sempat harus dibalas. Oya, jangan lupa janjimu dulu. Katanya kau akan memberi aku krayon! Jangan lupa, Io! Bohong dosa!
"Tiga minggu lagi adalah hari libur," kata Mira sambil melipat surat itu dan memasukkannya dalam tas. "Aku akan ke rumah Nenek di kampung. Lalu, main ke rumah Sri."
Teman-teman Mira agak kecewa. Mereka ingin sekali ikut ke kampung, tetapi Mira tak mengajaknya. Mimin menggoyang-goyang lengan Mira. "Boleh nggak kita ikut?"
Meski sesungguhnya ia tak keberatan, namun Mira menanggapi permintaan teman-temannya dengan senyuman kecil. "Hm, sayang sekali. Sri hanya mengundangku."
"Tolong....usahakan bagaimana caranya supaya kita bisa ikut," rayu teman-temannya. "Mir, dengar ya.... kita, kan, ingin makan duku juga seperti kamu. Kita, kan, sahabat. Kalau satu orang sedih, semua ikut sedih. Kalau satu senang semua juga ikut senang. Kalau satu makan duku, semua juga ikut makan. Iya, kan?" kata Ririn.
"Kalau mau makan duku, beli saja! Di sini banyak," tukas Mira. "Jangan begitu, Mir! Kita, kan, ingin melihat pohonnya dan bagaimana cara memanennya," kata Mimin.
"Lagi pula, kita juga ingin melihat desa. Sebab kita tidak punya sudara yang tinggal di desa. Nenek lahir di sini! Ayah, Ibu juga di sini. Jadi, tak ada yang dari desa," cerita Ririn. "Kalau tidak ada yang mengajak ke desa, seumur-umur kami tak akan pernah melihat desa."
Mira hampir tersenyum mendengarkan cara Ririn membujuk. Tetapi, ia masih bisa menahan tawa.
"Lagi pula kalau cuma sendiri, kan, tidak asyik, Mir. Kalau kita bersama-sama, artinya kompak. Dengan demikian akan lebih berkesan," kata Ririn lagi.
Mira lalu menjawab, "Kalau mau, kalian boleh ikut. Tapi ingat, ongkos ditanggung sendiri! Tak boleh mengeluh, tak boleh manja. Dan ingat, kalau makan di kampung tidak boleh rakus..."
"Hahaha....itu, kan, kebiasaan Mimin," ejek Sisil.
Mimin mendorong Sisil, "Enak aja!"
"Kita berangkat pada hari pertama liburan besok. Kita menginap di rumah Nenek. Jangan lupa, izin orang tua dulu supaya tidak dicari-cari. Dan yang paling penting adalah menyiapkan ongkosnya."
"Kapan kau akan membalas surat itu, Mir?" tanya Sisil. "Jangan lupa, cantumkan nama-nama kami. Katakan juga, kami semua ingin berkenalan dengan Sri."
Mira gembira sekali, sebab ia memiliki sahabat baru yang begitu baik. Sahabat baru yang berada nun jauh di luar kota, di pelosok sana! Bagi Mira, Sri serasa sudah berada di pelupuk matanya.
Ketika surat itu dibaca lagi sambil tiduran, Mira teringat pertemuannya dengan Sri di pasar desa, di atas andong. Mira naik andong ke rumah neneknya. Sri naik andong bukan sebagai penumpang. la ikut ayahnya yang tukang andong ke pasar. Mira dan Sri sama-sama duduk di depan, di samping kusir. Dalam perjalanan itu Mira dan Sri berkenalan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sigit Wahyu
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR