Jangan lupa kirim surat dulu. Kapan tanggalnya dan jam berapa sampai di pasar. Nanti biar aku ajak Ayah menjemputmu di pasar. Soalnya, kalau lagi musim buah, andong Ayah dipakai untuk mengangkut buah-buahan. Jadi aku harus bilang dulu pada Ayah kalau mau menjemputmu. O ya, kata Ayah, buah duku di kota mahal, ya? Berapa sekilonya? Kalau di sini Rp 250,00
Empat kali empat enam belas, sempat tidak sempat harus dibalas. Oya, jangan lupa janjimu dulu. Katanya kau akan memberi aku krayon! Jangan lupa, Io! Bohong dosa!
"Tiga minggu lagi adalah hari libur," kata Mira sambil melipat surat itu dan memasukkannya dalam tas. "Aku akan ke rumah Nenek di kampung. Lalu, main ke rumah Sri."
Teman-teman Mira agak kecewa. Mereka ingin sekali ikut ke kampung, tetapi Mira tak mengajaknya. Mimin menggoyang-goyang lengan Mira. "Boleh nggak kita ikut?"
Meski sesungguhnya ia tak keberatan, namun Mira menanggapi permintaan teman-temannya dengan senyuman kecil. "Hm, sayang sekali. Sri hanya mengundangku."
"Tolong....usahakan bagaimana caranya supaya kita bisa ikut," rayu teman-temannya. "Mir, dengar ya.... kita, kan, ingin makan duku juga seperti kamu. Kita, kan, sahabat. Kalau satu orang sedih, semua ikut sedih. Kalau satu senang semua juga ikut senang. Kalau satu makan duku, semua juga ikut makan. Iya, kan?" kata Ririn.
"Kalau mau makan duku, beli saja! Di sini banyak," tukas Mira. "Jangan begitu, Mir! Kita, kan, ingin melihat pohonnya dan bagaimana cara memanennya," kata Mimin.
"Lagi pula, kita juga ingin melihat desa. Sebab kita tidak punya sudara yang tinggal di desa. Nenek lahir di sini! Ayah, Ibu juga di sini. Jadi, tak ada yang dari desa," cerita Ririn. "Kalau tidak ada yang mengajak ke desa, seumur-umur kami tak akan pernah melihat desa."
Mira hampir tersenyum mendengarkan cara Ririn membujuk. Tetapi, ia masih bisa menahan tawa.
"Lagi pula kalau cuma sendiri, kan, tidak asyik, Mir. Kalau kita bersama-sama, artinya kompak. Dengan demikian akan lebih berkesan," kata Ririn lagi.
Mira lalu menjawab, "Kalau mau, kalian boleh ikut. Tapi ingat, ongkos ditanggung sendiri! Tak boleh mengeluh, tak boleh manja. Dan ingat, kalau makan di kampung tidak boleh rakus..."
"Hahaha....itu, kan, kebiasaan Mimin," ejek Sisil.
Mimin mendorong Sisil, "Enak aja!"
"Kita berangkat pada hari pertama liburan besok. Kita menginap di rumah Nenek. Jangan lupa, izin orang tua dulu supaya tidak dicari-cari. Dan yang paling penting adalah menyiapkan ongkosnya."
"Kapan kau akan membalas surat itu, Mir?" tanya Sisil. "Jangan lupa, cantumkan nama-nama kami. Katakan juga, kami semua ingin berkenalan dengan Sri."
Mira gembira sekali, sebab ia memiliki sahabat baru yang begitu baik. Sahabat baru yang berada nun jauh di luar kota, di pelosok sana! Bagi Mira, Sri serasa sudah berada di pelupuk matanya.
Ketika surat itu dibaca lagi sambil tiduran, Mira teringat pertemuannya dengan Sri di pasar desa, di atas andong. Mira naik andong ke rumah neneknya. Sri naik andong bukan sebagai penumpang. la ikut ayahnya yang tukang andong ke pasar. Mira dan Sri sama-sama duduk di depan, di samping kusir. Dalam perjalanan itu Mira dan Sri berkenalan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sigit Wahyu
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR