Di kota Bukhara, tinggallah seorang pemuda yang bekerja sebagai penjaga toko perhiasan. Pemuda ini bernama Mawara. Ia suka sekali berteman dengan pemuda-pemuda kaya seperti pangeran dan anak anak bangsawan. Supaya bisa berteman dengan mereka, Mawara juga mengaku sebagai anak orang kaya. Diam-diam, ia sering meminjam perhiasan yang dipajang di toko perhiasan tempat ia bekerja.
Suatu hari, teman teman kaya Mawara memutuskan untuk mengadakan pesta bergantian di rumah masing-masing. Setiap tuan rumah harus menyediakan makanan dan minuman enak tanpa henti sepanjang pesta.
Mawara menikmati semua pesta yang diadakan oleh teman-temannya itu. Namun akhirnya, tibalah gilirannya untuk menjadi tuan rumah pesta. Mawara kebingungan karena rumah ayahnya sangat kecil. Ia juga tidak punya barang-barang mewah.
Penyihir itu berkata, “Aku tahu masalahmu. Kamu ingin mengadakan pesta untuk teman-temanmu yang kaya, kan? Bawalah mereka ke rumah tua di belakang kuburan. Kalau kau memakai cincin ini, keinginanmu itu akan tercapai. Tapi ingatlah, pesta harus selesai sebelum tengah malam!”
Penyihir itu memberikan Mawara sebentuk cincin emas. Karena masih kaget dan bingung, Mawara menerima cincin itu. Namun seketika, penyihir itu pun menghilang. Lalu tampak seekor ular merayap pergi dari sana.
Hari giliran Mawara menjadi tuan rumah pesta pun tiba. Karena tak tahu cara lain, Mawara melakukan hal yang diminta penyihir Khorezm. Ia memakai cincin emas pemberian penyihir itu, lalu mengajak teman-temannya ke rumah tua di belakang kuburan. Mawara berdebar, siap dimarahi teman-temannya jika tidak terjadi keajaiban di rumah tua itu.
Setelah melewati kuburan, sampailah mereka di tempat yang seharusnya ada rumah tua. Namun, teman-teman Mawara sangat terkejut. Mawara sendiri pun sangat terkejut. Di tempat itu, tampak ada sebuah taman indah yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Ada karpet mewah dan hiasan-hiasan pesta.
Di ujung taman indah itu, tampak sebuah rumah mewah. Waktu masuk ke dalamnya, tampak ada banyak makanan lezat. Juga banyak pelayan yang mondar-mandir membawa minuman dan kue-kue enak. Pemain musik juga memainkan musik-musik riang.
Teman-teman Mawara makan dan minum sampai kekenyangan. Mereka menari sampai akhirnya tertidur karena kelelahan. Mawara menjadi ketakutan sendiri. Sebentar lagi tengah malam, sementara teman-temannya tidak bisa dibangunkan.
Akhirnya, Mawara lari sendirian dari rumah itu. Entah bagaimana, Mawara akhirnya tiba di tengah hutan. Di sana, ia menemukan sebuah pondok dengan lampu. Seorang kakek dan nenek menyambut Mawara dengan wajah iba.
“Kenapa kamu tiba di isni? Apa kamu tak tau kalau hutan ini penuh setan?”
Mawara menceritakan masalahnya.
“Beruntung kamu bertemu kami. Masuklah. Penyihir Khorezm menguasai semua setan di hutan ini. Nyawamu adalah hadiah dari penyihir itu untuk setan-setan di hutan ini.”
Kakek dan Nenek itu menunjukkan tempat tidur untuk Mawara. Namun, di tengah malam, Mawara terbangun karena mendengar bunyi. Ia mengintip ke dapur. Tampak si Kakek sedang menajamkan pisau.
“Hi hi hi… kita berhasil mendapatkan hadiah rebutan dari penyihir Khorezm!” tawa si Nenek.
Mawara sangat terkejut. Ia segera lari keluar rumah. Si Kakek dan Nenek mengejarnya dengan cepat. Ketika hampir saja Mawara tertangkap, tiba tiba lewatlah seekor kuda bersadel di padang rumput. Seketika mawara melompat ke punggung kuda itu.
Kuda itu berderap seperti angin dan membawanya ke padang pasir. Kuda itu terus berderap naik ke bukit. Ia lalu melempar Mawara tinggi ke udara. Kuda itu mendongak seperti menunggu Mawara jatuh. Tiba-tiba saja dari mulut kuda itu keluar api. Kuda itu berubah jadi naga.
Mawara sangat panik. Ia menggerak-gerakkan kakinya di udara agar tidak jatuh ke mulut naga. Untunglah ia jatuh ke leher naga, lalu merosot turun ke semak-semak tanah. Sayangnya, lutut Mawara cedera. Ia tak bisa berlari. Mawara sudah pasrah akan dimakan naga.
Tiba-tiba, terdengar suara seruling di kejauhan. Lalu muncul seorang pengelana dengan wajah ramah. Ia memapah Mawara pergi dari tempat itu. Setelah agak jauh, ia mengobati lutut Mawara.
“Kamu beruntung aku menemukanmu di sini. Semua setan di daerah ini, berada di bawah perintah penyihir Khorezm. Dan kamu adalah hadiah untuk diperebutkan para setan. Tapi kamu selamat sekarang. Aku akan mengantarmu ke rumah sahabatku. Menginaplah di sana. Besok pagi, kamu bisa kembali ke kota,” kata pengelana itu.
Pengelana itu lalu membawa Mawara ke rumah temannya, seorang saudagar. Rumah itu memiliki taman yang luas. “Saudagar pemilik rumah ini mempunyai tiga anak perempuan,” kata si pengelana.
Pengelana itu menceritakan masalah Mawara pada si saudagar. Saudagar itu mengijinkan Mawara tinggal di kemah di tamannya. Mawara lega dan sangat berterimakasih.
Akan tetapi, Mawara tetap tak bisa tidur. Ia pun berjaga-jaga di dalam tenda.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara anak-anak perempuan di luar tenda.
“Mawara, ayo, kita bermain petak umpet. Ayah biasanya melarang kami bermain di luar rumah,” kata salah satu anak itu.
Mawara keluar dan melihat tiga anak perempuan.
“Ayah kalian bisa marah. Ayo, cepat masuk rumah lagi,” nasihat Mawara.
“Tidak mau… Ayo, cari kami!” kata anak yang satunya sambil berlari.
Mawara tetap tidak mau. Tiba-tiba saja, wajah anak yang satunya lagi berubah jadi mengerikan. Gigi-giginya jadi bertaring runcing.
“Kalau tidak mau, ini balasannya…” serunya dengan suara mengerikan.
Seketika, rumah mewah, taman luas, dan tenda Mawara hilang. Ia kini berada di tengah padang pasir sendirian. Mawara langsung lari dari tempat itu sekuat tenaga. Ketiga anak yang kini memiliki taring runcing itu, mengejarnya terus tanpa henti.
Di saat tenaganya hampir habis, Mawara tiba-tiba teringat pada cincin pemberian si penyihir Khorezm. Ia segera mencabut cincin itu dari jarinya dan melemparnya sejauh jauhnya.
Seketika cincin itu berubah menjadi ular dan merayap masuk ke semak-semak.
Mawara terus berlari tanpa henti, sampai pagi pun merekah.
Ketika hari agak terang, Mawara sudah tiba di daerah pekuburan lagi. Dari kejauhan, tampak bangunan-bangunan menara di kota. Ketika berjalan di antara kuburan, ia menemukan teman-temannya yang tertidur di sana. Mawara membangunkan mereka. Ia siap dimarahi dan dimusuhi teman-temannya itu. Namun, ternyata mereka tidak ingat apapun yang terjadi.
Sejak hari itu, Mawara menghindar dari pesta pora teman-temannya yang kaya itu. Ia pamit pada kedua orangtuanya untuk pergi bekerja di kota lain. Mawara bertekat untuk bekerja keras dan menghindari hidup pesta pora.
(Dok. Majalah Bobo / Folklore)
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR