Sekarang Bayu sudah kelas lima. Dia sudah biasa disuruh pergi ke kantor pos untuk mengambil wesel Nek Buyut. Dia juga sudah pandai berdebat dan bercita-cita menjadi wartawan. Dia juga pandai memikirkan strategi untuk mendapatkan keinginannya. Ada satu keinginan Bayu yang belum terpenuhi, yaitu melihat isi lemari ukir di kamar Nek Buyut.
Ketika Bayu berusia lima tahun, Bayu pernah masuk ke kamar Nek Buyut. Waktu itu Nek Buyut masuk ke kamarnya karena mau mengambil KTP-nya yang perlu diperpanjang. Bayu sangat tertarik pada lemari ukir yang tegak di sudut kamar Nek Buyut. Lemari itu berbentuk persegi panjang. Terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Di antara kedua bagian tersebut ada dua buah laci.
"Nek Buyut, buka lemarinya!" rengek Bayu waktu itu.
"Tidak boleh. Bayu masih kecil. Nanti saja kalau sudah besar!" kata Nek Buyut sambil lekas-lekas menggiring Bayu keluar dan mengunci pintu kamarnya. Dia lalu memberikan Bayu sebuah mangga golek untuk mengalihkan perhatian Bayu.
Setelah itu Bayu tak pernah lagi mendapat kesempatan masuk ke kamar Nek Buyut yang selalu terkunci itu.
Nah, Sabtu sore ini Bayu pamit pada ibunya untuk menginap di rumah Nek Buyut. Nek Buyut tinggal dengan si Mbok, pembantunya yang setia.
Di usianya yang hampir 70 tahun, rambut Nek Buyut sudah putih dan giginya sudah ompong. Tetapi, Nek Buyut masih sehat. Berkali-kali Nek Buyut diajak tinggal di rumah anak atau cucunya, tetapi Nek Buyut menolak. Dia lebih suka tinggal berdua dengan si Mbok saja.
Sore itu Bayu bercakap-cakap dengan Nek Buyut sambil nonton TV. Si Mbok menghidangkan kue dan minuman, yang segera dicicipi Bayu.
Ketika Bayu merasa waktunya sudah tepat, ia mulai bertanya, "Nek Buyut, sudah dapat wesel lagi belum? Kalau sudah, Bayu ambilkan di kantor pos!"
Nek Buyut tertawa, sehingga tampak giginya yang ompong.
"Baru seminggu yang lalu kamu ambilkan wesel Nek Buyut. Ya belum dapat lagi. Biasanya Pak Iwan mengirimkan wesel sebulan sekali. Sudah Nek Buyut kirimkan surat berkali-kali supaya tak usah kirim wesel, tapi masih dikirimi terus. Anak Pak Sasmita itu memang baik!"
"Pak Sasmita itu siapa, sih, Nek Buyut?" tanya Bayu penuh perhatian.
"Kamu, kok, mau tahu saja?" elak Nek Buyut.
"Tentu saja, Nek Buyut. Kan, Bayu mau jadi wartawan. Perlu cari tahu hal-hal yang menarik. Kan, aneh, ada orang yang mau kirim uang terus, padahal yang menerima sudah tidak mau!" jawab Bayu.
Wajah Nek Buyut berseri-seri mendengar keterangan Bayu. Matanya memancarkan kekaguman yang tulus. "Lho, cicitku ini sudah besar, ya. Rasanya baru kemarin jadi bayi yang digendong-gendong. Kok, tahu-tahu sudah bisa ke kantor pos, sudah punya cita-cita jadi wartawan. Kamu pintar, seperti Kakek buyutmu!" puji Nek Buyut.
"Kalau sudah besar, boleh dong melihat isi lemari ukir di kamar Nek Buyut!" pinta Bayu. "Apa, sih, isinya, Nek Buyut? Sejak dulu Bayu ingin sekali melihatnya!"
"Oh itu. Lemari ukir itu berisi barang-barang peninggalan Kek Buyut. Sekarang kamu sudah besar sudah bisa mengerti tentang nilai-nilai kehidupan. Jadi kamu boleh melihatnya!" kata Nek Buyut.
Bayu senang sekali. Akhirnya tercapai juga keinginannya. Dia mengikuti dengan hati berdebar-debar ketika Nek Buyut membuka kunci pintu kamar dan melangkah masuk. Di sudut kamar berdiri dengan anggun lemari ukir itu. Lemari itu kelihatan kuno, mengandung misteri tetapi bersih. Rupanya Nek Buyut merawat lemari tua itu dengan baik.
Ketika lemari bagian bawah dibuka, tampak setumpuk pakaian pria, buku-buku Bahasa Belanda, piagam-piagam yang dibingkai dan dua buah piala. Bau kamper tercium ketika lemari dibuka.
"Piala apa itu, Nek?" tanya Bayu. "Dan piagam apa yang dibingkai itu?"
"Itu piala Kejuaraan Balap Sepeda. Dulu Kakek buyutmu juara balap sepeda di kotanya dan juga di provinsi. Piagam-piagam itu adalah ijazah Kek Buyut. Ada ijazah sekolah guru, walaupun akhirnya Kek Buyut jadi pedagang tembakau. Ada juga ijazah, apa itu namanya.... Oh ya, tata buku!" Nek Buyut menjelaskan.
"Tapi semua tak ada artinya lagi sekarang. Orangnya sudah meninggal dan dilupakan. Ijazah itu juga tidak ada gunanya selain untuk disimpan di lemari!" sambung Nek Buyut.
Bayu merinding. Baru sekarang dia menyadari bahwa prestasi-prestasi semacam itu tidak kekal, hanya sementara saja. "Jadi tak ada gunanya menyombongkan diri bila orang berhasil mencapai sesuatu," pikir Bayu.
Kemudian Nek Buyut membuka laci yang di tengah. Ada batu-batu cincin, alat-alat pertukangan, beberapa pipa dan surat-surat serta pajangan porselain. Di tengah-tengah disandarkan foto pengantin Kek Buyut dan foto Kek Buyut dengan seorang pria.
"Nah, itulah Pak Sasmita, sahabat Kek Buyut!" kata Nek Buyut sambil menunjuk foto pria tersebut. "Dulu Kek Buyut berdagang tembakau, sedangkan Pak Sasmita menjadi supir oplet. Sekarang namanya mikrolet. Kek Buyut gemar menonton film. Seminggu bisa tiga kali nonton. Suatu ketika Pak Sasmita mendapat kecelakaan lalu lintas. Tangan dan kakinya cedera. Dua tahun lamanya ia tak bisa menarik oplet. Kek Buyutmu lalu mengurangi hobi nonton filmnya menjadi dua kali sebulan. Setiap Minggu Kek Buyut menengok sahabatnya sambil membawakan uang. Ibu Sasmita juga diberi modal untuk berjualan gado-gado. Sekarang kedua sahabat itu sudah meninggal. Putra Pak Sasmita, Pak Iwan sekarang sudah jadi direktur perusahaan besar. Sejak Kek Buyut meninggal 15 tahun lalu, Pak Iwan setiap bulan selalu mengirim wesel untuk Nek Buyut."
Perasaan Bayu tersentuh. Ternyata lemari rahasia itu benar-benar mengandung rahasia, yaitu rahasia suatu persahabatan. "Begitulah, Bayu. Harta benda akan lenyap, prestasi dunia akan dilupakan. Bintang-bintang olahraga dan seni terus bermunculan. Akan tetapi kebaikan hati dan persahabatan akan menjadi kenangan indah bagi yang mengalaminya. Karena itu berusahalah berbuat baik setiap hari," pesan Nek Buyut, lalu mengunci pintu lemari ukirnya.
"Terima kasih, Nek Buyut," kata Bayu perlahan. "Nek Buyut telah mengajarkan sesuatu yang berharga dalam hidupku. Bahwa persahabatan membutuhkan pengorbanan dan perhatian!"
"Nah, sudah waktunya makan. Ayo, kita minta si Mbok siapkan meja!" kata Nek Buyut.
Mereka lalu keluar kamar meninggalkan lemari ukir yang mengandung rahasia. Rahasia suatu persahabatan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna
15 Dampak Positif Globalisasi bagi Kesenian Daerah, Materi Kelas 6 SD Kurikulum Merdeka
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR