Seorang ibu berkeliling ke seluruh desa untuk menawarkan barang yang ada di dalam tas kayu yang ia bawa. Ia keluar dan masuk kembali dari rumah ke rumah. Tak satu pun orang membeli, padahal ia mengatakan bahwa saat ini suaminya sedang sakit dan butuh biaya besar untuk berobat ke kota. Orang-orang banyak yang iba dan memberikan uang kepada ibu itu, tetapi belum ada satu pun warga yang membeli barang yang dijual.
“Bu, menurut saya harganya terlalu mahal. Kemana pun Ibu jual mesin tua itu dengan harga yang mahal, maka tidak ada yang laku,” kata seorang Ibu selepas menolak membeli.
“Untuk saya, harga kenangan mesin ini lebih mahal dari harga yang saya berikan,” jawab Ibu itu yakin.
“Lah Bu, kan kenangan itu Ibu yang tahu, kalau orang lain kan belum ada kenangannya di mesin itu,” jawab Ibu pembeli lagi.
Ibu itu tetap yakin, bahwa mesin jahit itu bisa ia jual dengan harga yang ia inginkan. Bahkan konon mesin itu dijual seharga sepetak tanah untuk dibangun rumah. Pantas saja banyak yang tak sanggup membeli. Namun, ibu itu tetap bersikukuh bahwa mesin tua itu pantas dijual dengan harga sedemikian mahalnya.
“Ibu niat menjual mesin ini? Kenapa memberi harga yang tidak mungkin akan laku?” tanya seorang Bapak yang baru saja menolak membeli.
“Iya Pak. Saya berniat menjual kalau ada yang mau membelinya dengan harga itu,” kata si Ibu.
“Ah Bu, kasihan suami Ibu, mesin itu tidak akan laku,” jawab Bapak itu lagi.
Tanpa sadar air mata ibu itu turun. Ia pun menepi sebentar, duduk di dekat lampu jalanan. Ibu itu teringat kondisi suaminya di rumah yang segera butuh obat. Hari pun sudah gelap dan mesin jahit ini tak laku.
“Bu, kenapa menangis sendirian?” tiba-tiba terdengar suara dari seorang anak kecil yang memeluk si Ibu.
“Hai Nak, suami Ibu sakit dan Ibu perlu uang untuk membeli obat,” jawab si Ibu.
“Ini aku punya uang,” kata anak itu sambil menyerahkan dua lembar uang seribuan.
Ibu itu pun memeluk si anak karena rasa belas kasih yang telah diberikan kepadanya.
“Ini buat kamu beli permen saja yah,” kata si Ibu.
Anak itu pun memasang wajah bingung karena Ibu tadi menolak uang padahal di awal mengatakan perlu uang.
“Ibu membawa apa di tas kayu itu?” tanya si anak.
“Ini mesin jahit, ingin ibu jual untuk dapat uang,” jawab si Ibu.
“Boleh aku lihat?” tanya si anak.
Ibu itu pun membuka tas kayu yang ia bawa. Sebuah mesin jahit tua ada di dalamnya. Tanpa disangka tiba-tiba anak itu menangis.
“Boleh aku membelinya? Mesin itu sama seperti mesin jahit nenek yang hilang,” kata anak itu.
“Tapi… harganya …”
Si Ibu tidak meneruskan kata-katanya. Ia melihat ada pancaran kerinduan di mata anak itu. Sang Ibu percaya bahwa mesin jahit itu akan baik-baik saja jika diberikan kepada anak itu.
Selama berjalan seharian ini, tak ada satu pun mata yang memang berniat menjaga mesin tua itu, makanya Si Ibu memberikan harga yang begitu mahal untuk memastikan mesin itu akan dirawat setelah dibeli.
“Boleh, kamu boleh membelinya,” jawab Ibu tadi.
“Benarkan Bu? Benarkah?” kata anak itu kegirangan sambil menyerahkan dua lembar seribuan.
Ibu pun mengantarkan anak itu dengan mesin jahit tua yang sudah menjadi milik sang anak karena mesin itu cukup berat untuk dibawa anak berusia 6 tahun. Ibu itu tak menyangka bahwa ia mengantarkan anak itu sampai masuk ke restoran mewah.
“Alika, kamu kemana saja? Bunda sangat khawatir,” kata seorang wanita yang begitu cantik.
“Membeli mesin jahit Bunda,” jawab Alika dengan senyum bahagia.
Ibu penjual mesin jahit itu pun menyerahkan tas kayu yang di dalamnya berisi mesin jahit tua.
“Sekarang sudah jadi milik Alika. Semoga bisa dirawat dengan baik. Itu peninggalan nenek dan ibu saya. Satu-satunya warisan untuk saya,” kata si ibu.
Ibu itu pun permisi pulang dengan wajah senang. Ia siap menemui suaminya. Dengan dua ribu rupiah, ia bisa membeli sepotong roti untuk makan malam.
“Alika, tadi beli mesin jahit itu dengan harga berapa?” tanya ibunya sesampai di rumah.
“Dua ribu rupiah Bunda. Katanya ibu itu butuh uang karena suaminya sakit,” kata Alika sambil mengelap mesin jahit tua itu.
Seluruh pengasuh dan bundanya pun begitu terkejut mendengar jawaban Alika. Yang benar saja mesin jahit tua yang begitu berharga ini hanya dibeli dua ribu, ditambah lagi suami ibu tadi sedang sakit.
Bunda pun langsung memerintahkan ajudan-ajudannya untuk menyelidiki asal rumah Ibu tadi dan menjemputnya untuk datang ke rumah bersama suaminya yang sakit.
Singkat cerita, para ajudan berhasil membawa Ibu tadi sampai di rumah megah milik Alika. Namun, karena suaminya dalam kondisi sangat buruk, ia tak bisa ikut.
Sang ibu pun menceritakan betapa senangnya ia melihat Alika yang tampak tulus menginginkan mesin jahit itu. Tanpa menunggu lama, si Bunda Alika langsung menyerahkan satu tas kayu tempat mesin jahit itu.
“Semoga cukup untuk berobat suami Ibu. Mesin jahit ini akan kami rawat. Ibu bisa datang kapan saja,” kata Bunda Alika.
Ibu itu begitu kaget ketika melihat tas kayu itu penuh berisi uang. Ia pun segera pulang dan membawa suaminya berobat ke kota.
Edisi Koleksi Petualangan Pak Janggut Vol. 2 Sudah Bisa Dipesan, Ini Link PO-nya
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR