Suara Ibu terdengar serak ketika kami berbicara lewat telepon. Padahal, saat aku telepon tiga hari yang lalu, Ibu juga sudah serak. Jadi, batuknya belum sembuh juga, batin Uta.
Pikiran Uta mengalir ke rumah tempatnya bercanda dengan Ibu dan Bapak. Sudah beberapa bulan Uta tinggal di kota bersama Abi dan bapaknya. Tujuannya adalah agar ia bisa melanjutkan sekolahnya ke SMP. Nilai Uta yang begitu bagus saat ujian nasional membuatnya langsung diterima di sekolah paling bagus di kota itu.
Hujan deras dimulai. Uta semakin teringat dengan keadaan rumahnya yang bocor dimana-mana. Ibu yang sakit pasti kedinginan. Bapak pasti akan sibuk menaruh ember di titik-titik kebocoran, bahkan panci pun ikut digunakan. Uta tiba-tiba merasa sedih mengingat itu semua.
“Ta, kok bengong, sih? Sudah selesai teleponnya?” tanya Abi.
Uta mengangguk dan mengembalikan telepon genggam milik bapak Abi. Tiga hari sekali Uta akan pinjam telepon untuk menelepon salah satu tetangga di rumah agar bisa bicara pada Ibu dan Bapak. Untung saja tetangga itu baik, mau berlari ke rumah dan memberikan telepon dari Uta kepada ibu atau bapak Uta.
“Gimana kondisi di rumah Uta?” tanya Abi.
“Ibu sakit Bi,” jawab Uta singkat. Matanya masih terbayang rumah kecil yang kehujanan di sebuah kampung nelayan.
“Oh ya ampun, sudah ke puskesmas?” tanya Abi.
“Kata Ibu, tadi pagi sudah ke puskesmas. Aku khawatir kondisi Ibu akan semakin parah,” kata Uta sedih.
“Ta, Bapak akan pulang ke kampung besok. Mungkin kau mau titip sesuatu?” tanya Abi.
Uta langsung kaget dan menoleh. Ia langsung ingin berkata bahwa “Aku mau ikut dan bertemu Ibu”. Namun, ia urungkan niatnya. Ongkos pulang pergi ke desa pasti mahal. Uang tabungan Uta masih kurang dari empat puluh ribu. Ia sudah banyak merepotkan keluarga Abi. Lagipula, Ibu dan Bapak berulang kali berpesan agar Uta tidak merepotkan keluarga Abi.
“Ta? Malah bengong!” kata Abi lagi pada Uta.
“Jam berapa Bapak kau berangkat?” tanya Uta.
“Jam 9 pagi,” jawab Abi.
Uta pun langsung mengangguk dan berlari ke kamarnya. Tidak ada yang bisa ia titipkan selain surat untuk Ibu.
Uta membaca sekali lagi suratnya. Hatinya sedikit lega walau cuma menulis surat. Uta berharap, ibunya juga akan terhibur saat membaca suratnya. "Semoga Ibu cepat sembuh, ya, Bu..." bisik Uta sambil mencium kertas suratnya.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR