“Kalau begitu, pinjam PR-mu, biar kami salin,” kata satu anak lagi.
“Tidak, itu PR harus dikerjakan sendiri,” kata Uta kembali menolak.
Uta tahu, dirinya dalam bahaya, tetapi ia tidak mau menyerahkan PR itu kepada mereka. Kalau sampai PR-nya ketahuan sama, pasti ia ikut dihukum. Lagi pula memberi contekan sama saja dengan menyontek. Begitulah yang ada dalam pikirannya.
Anak berbadan besar langsung mengambil dua buku yang dibawa Uta. Sebuah buku tulis yang berisi PR merangkum dan satu buku kumpulan soal yang ia beli dengan menabung. Buku itu dilempar kesana kemari, hingga halaman-halamannya pun terlepas dan berhamburan.
Uta sangat marah. Ingin rasanya ia memukul keenam anak itu. Mereka tidak tahu bahwa untuk membeli buku tulis saja, Uta harus menabung. Uta juga tidak bermain karena harus mengerjakan tugas.
Tangan Uta siap berayun untuk memukul apalagi melihat ekspresi tawa mereka berenam. Namun, ia ingat lagi kata Ibunya,”Jika disakiti dan balik menyakiti itu sama-sama tidak baik.”
Uta menarik nafas panjang. Ia mengumpulkan halaman-halaman buku yang berserakan.
Seketika ia merasa ada kaki yang berayun ke arahnya, seperti akan menendang.
“Haaaah!” suara Abi begitu kencang. Ia baru saja menghalau tendangan anak berbadan besar yang tujuannya ke arah Uta.
“Jangan ganggu Uta!” kata Abi. “Aku laporkan kau ke guru-guru!” kata Abi lagi.
“Kalau kau berani melapor…”
“Apa? Memangnya kenapa? Aku berani! Aku dan Uta akan laporkan kalian! Ini sudah melanggar tata tertib sekolah tau!” kata Abi begitu marah.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR