Pagi ini Uta kembali bersekolah setelah beberapa waktu fokus berlatih dan mengikuti perlombaan lari tingkat Asia. Sebagai orang yang baru pertama kali mengikuti lomba lari, ia sudah bisa meraih perunggu atau juara ketiga di tingkat Asia. Semua orang begitu kagum.
Sejak hari Jumat, ia sudah banyak bertanya pada Abi mengenai pelajaran di sekolah yang ia tinggalkan dua minggu. Ada beberapa yang Uta tidak mengerti. Untung saja, Abi sangat baik dan sabar mengajarkan Uta.
Uta datang lebih pagi dari biasanya. Ia menyempatkan diri membaca buku karena pagi ini akan ada ulangan biologi. Untung saja ada tugas merangkum pembahasan yang akan jadi bahan ulangan, jadi Uta merasa terbantu.
Ia memilih duduk di kursi dekat taman sekolah untuk membaca. Tempat ini memang sepi jadi sangat nyaman untuk belajar. Saking asiknya membaca, Uta tidak merasa bahwa ada segerombol anak-anak yang mendatangi mejanya.
“Uta, jangan sok nggak lihat kamu!” kata seorang anak berbadan besar mulai berbicara.
Uta pun kaget melihat sudah ada enam anak laki-laki di sekitarnya.
“Emm, ada apa, ya?” tanya Uta gelagapan karena kaget.
“Jangan karena kamu juara lari, kamu sombong, ya,” kata satu anak lainnya.
“Aku tidak sombong, kok,” jawab Uta.
“Kalau begitu buatkan kami rangkuman biologi,” kata anak yang berbadan besar lagi.
“Itu, kan, PR kalian, kenapa aku yang harus kerjakan,” kata Uta menolak.
Semua anak-anak yang mengelilingi Uta memasang ekspresi marah. Uta mundur sedikit dari posisinya. Ini pertama kali ia merasa dikeroyok. Namun, ia ingat kata Ibu bahwa berani bukan berarti harus menyakiti.
“Sudah aku bilang, jangan sombong!” kata satu anak lagi.
“Kalau begitu, pinjam PR-mu, biar kami salin,” kata satu anak lagi.
“Tidak, itu PR harus dikerjakan sendiri,” kata Uta kembali menolak.
Uta tahu, dirinya dalam bahaya, tetapi ia tidak mau menyerahkan PR itu kepada mereka. Kalau sampai PR-nya ketahuan sama, pasti ia ikut dihukum. Lagi pula memberi contekan sama saja dengan menyontek. Begitulah yang ada dalam pikirannya.
Anak berbadan besar langsung mengambil dua buku yang dibawa Uta. Sebuah buku tulis yang berisi PR merangkum dan satu buku kumpulan soal yang ia beli dengan menabung. Buku itu dilempar kesana kemari, hingga halaman-halamannya pun terlepas dan berhamburan.
Uta sangat marah. Ingin rasanya ia memukul keenam anak itu. Mereka tidak tahu bahwa untuk membeli buku tulis saja, Uta harus menabung. Uta juga tidak bermain karena harus mengerjakan tugas.
Tangan Uta siap berayun untuk memukul apalagi melihat ekspresi tawa mereka berenam. Namun, ia ingat lagi kata Ibunya,”Jika disakiti dan balik menyakiti itu sama-sama tidak baik.”
Uta menarik nafas panjang. Ia mengumpulkan halaman-halaman buku yang berserakan.
Seketika ia merasa ada kaki yang berayun ke arahnya, seperti akan menendang.
“Haaaah!” suara Abi begitu kencang. Ia baru saja menghalau tendangan anak berbadan besar yang tujuannya ke arah Uta.
“Jangan ganggu Uta!” kata Abi. “Aku laporkan kau ke guru-guru!” kata Abi lagi.
“Kalau kau berani melapor…”
“Apa? Memangnya kenapa? Aku berani! Aku dan Uta akan laporkan kalian! Ini sudah melanggar tata tertib sekolah tau!” kata Abi begitu marah.
Wajah Abi merah padam. Ia pun membantu Uta membereskan bukunya dan mengajaknya ke ruang guru.
“Abi, kamu yakin akan melapor?” kata Uta ragu. Abi mengerti karena Uta takut akan diganggu lagi.
“Dia anak orang kaya yang mungkin jadi donaturku bisa masuk di SMP ini,” kata Uta.
Abi menghentikan langkahnya. Ia memikirkan kata-kata Uta.
“Harus lapor. Kita berjanji akan melaporkan setiap pelanggaran. Kamu ingat kan waktu MOS kita diajarkan begitu?” kata Abi. Uta hanya mengangguk.
“Masih banyak beasiswa yang lain. Kalau ini dibiarkan, mereka bisa saja mengganggu anak lain. Kalau semua diam, mereka akan semakin mengganggu. Kamu mau?” kata Abi dengan nada tinggi.
Uta menggeleng dan mengikuti langkah Abi ke ruang guru.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR