Dahulu kala, dan sebuah kerajaan yang rajanya suka sekali berperang. Raja ini memiliki banyak prajurit. Sayangnya, Raja hanya memberi sedikit upah untuk para prajuritnya. Itu karena Raja tak ingin prajuritnya mempunyai uang lebih, dan pindah ke negeri lain. Raja juga mengeluarkan peraturan untuk menghukum prajurit yang mencoba keluar dari negeri itu.
Di antara para prajurit, ada tiga prajurit yang tak tahan lagi hidup di negeri itu. Mereka adalah Hunor, Nandor dan Gergo. Ketiga prajurit ini memutuskan untuk pergi, pindah ke negeri lain.
“Tapi, bagaimana cara kita pergi dari sini? Kalau tertangkap, kita akan dihukum gantung,” kata Hunor.
“Tak jauh dari kerajaan ini, ada sebuah ladang jagung besar. Kalau kita sembunyi di sana, tak ada prajuridtyang bisa menemukan kita. Kita sembunyi malam ini, setelah itu besok itu lanjutkan pelarian kita,” usul Gergo.
Maka sore itu, saat para prajurit berlatih baris berbaris, Hunor, Nandor, dan Gergo menyelinap keluar dari barisan. Mereka lari dan sembunyi di ladang jagung.
Komandan prajurit akhirnya tahu kalau ketiga prajurit itu tak ada di dalam barisan. Ia melaporkan pada Raja. Dan Raja langsung memerintahkan semua prajurit untuk mencari mereka.
Malam itu, semua prajurit berpencar di ladang jagung yang sangat luas, mencari Hunor, Nandor, dan Gergo. Ketiga prajurit itu bertahan di tempat mereka sembunyi, tanpa makan dan minum. Sayangnya, para prajurit terus bertahan mencari mereka selama dua hari dua malam. Ketiga prajurit itu semakin lemas karena lapar dan haus.
Nandor akhirnya berkata dengan putus asa, “Tak ada gunanya kita lari dari negeri ini. Kita akan mati kelaparan di ladang jagung ini…”
Di saat itu, tiba-tiba seekor naga berwarna merah terbang melayang di udara. Ia turun mendarat dan mendekati ketiga prajurit yang sedang sembunyi itu.
“Hei, manusia! Aku Piros, si naga merah. Mengapa kalian sembunyi?” tanya Piros.
Hunor dan Nandor gemetar takut saat melihat naga itu. Namun Gergo menjawab lantang,
“Kami adalah tiga prajurit yang bernasib malang. Aku mencoba lari dari negeri ini, tapi sebentar lagi para prajurid akan menemukan kami. Raja pasti akan menggantung kami!”
Piros mengangguk. Ia lalu berkata, “Kalau kalian mau jadi pelayanku, aku akan memberi kalian kekayaan. Tapi pada tahun ketujuh, kalian akan jadi makan siangku. Kalau kalian setuju, aku akan membawa kalian pergi dari sini!”
Nandor, Hunor, dan Gergo terpaksa mengangguk setuju karena tak punya pilihan lain. Piros lalu mencengkeram mereka dengan cakarnya, dan membawa mereka terbang pergi dari tempat itu. Ia lalu menurunkan mereka di sebuah kastil tua di sebuah desa.
Sebelum pergi, Piros memberi mereka sebuah cambuk ajaib.
“Pecutlah cambuk ini ke udara, maka akan muncul uang sebanyak yang kalian mau. Tapi ingatlah! Pada tahun ketujuh, aku akan datang ke sini lagi mengambil kalian!”
Piros lalu memberi mereka sehelai kertas perjanjian. Ketiga prajurit itu menandatangani kertas perjanjian itu. Naga itu lalu berkata lagi,
“Tujuh tahun depan, aku punya teka-teki untuk kalian. Jika bisa menjawabnya, maka kalian akan terbebas dari perjanjian ini.” Piros kemudian terbang menjauh.
Untuk sementara, Nandor, Hunor, dan Gergo merasa lega. Mereka lalu mencoba cambuk ajaib pemberian Piros. Ternyata benar... Setiap mereka memecut cambuk itu ke udara, keluarlah berlimpah uang. Mereka bisa membeli pakaian, kereta kuda, dan berkeliling ke berbagai negara. Tentu saja, mereka juga harus mengurusi kastil sang Piros.
Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Tak terasa, tujuh tahun pun hampir berakhir. Nandor dan Hunor mulai ketakutan karena mereka akan menjadi santapan Piros. Namun, Gergo tetap penuh semangat.
“Jangan takut teman-temanku. Kita pasti bisa menebak teka-teki dari Piros. Kita pasti mendapat jalan keluar!”
Mereka lalu pergi ke padang rumput desa dan duduk merenung. Saat itu, lewatlah seorang nenek tua renta.
“Hei anak-anak muda… Mengapa kalian begitu sedih?” sapa nenek itu.
“Percuma saja aku jelaskan, Nek… Nenek tak akan bisa menolong kami,” kata Hunor.
“Siapa tahu aku bisa membantu. Coba ceritakan masalah kalian…” kata nenek itu lagi.
Mereka lalu bercerita kalau mereka adalah pelayan di kastil Piros. Namun di tahun ketujuh itu, mereka akan dimakan Piros, kecuali mereka bisa menebak teka-tekinya.
Nenek itu lalu berkata, “Kalau kalian ingin selamat, salah satu dari kalian harus masuk ke dalam hutan. Di sana, kalian akan menemukan sebuah rumah kecil dari bongkahan batu. Masuklah kesana. Kalian akan menemukan pertolongan di sana.”
Hunor dan Nandor hanya menghembus napas putus asa. “Tidak mungkin ada orang yang bisa menyelamatkan kami bertiga!”
Untunglah, Gergo tetap bersemangat. Ia berterima kasih pada si nenek, dan berlari riang masuk ke dalam hutan. Di sana, ia menemukan gubuk dari bongkahan batu. Pintu gubuk itu terbuka, dan keluarlah naga betina yang sudah tua. Ternyata, itu adalah nenek dari Piros, si naga merah.
Gergo sangat terkejut. Namun, nenek Piros sangat ramah menyambut Gergo. Gergo pun menceritakan masalahnya.
Nenek Piros merasa iba pada Gergo dan kedua temannya. Ia juga kagum akan keberanian Gergo. Ia berjanji akan menolong mereka. Nenek Piros lalu mengangkat sebuah batu besar yang terbentang di lantai. Di bawahnya, tampak ruang di bawah tanah.
“Bersembunyilah di bawah sana dan jangan bergerak. Kamu bisa mendengar semua yang diucapkan cucuku di ruangan ini. Saat dia datang, saya akan bertanya kepadanya, apa teka-tekinya itu. Dengarkanlah baik-baik apa jawabannya.”
Pada tengah malam, Piros masuk ke dalam rumah. Ia baru saja terbang keliling dunia dan merasa lapar. Neneknya mengeluarkan semua makanan dan minuman. Mereka berdua lalu makan malam sampai puas sambil bercakap. Nenek bertanya pada Piros, sudah berapa manusia yang ia dapatkan hari itu.
"Saya tidak beruntung hari ini, Nek,” katanya. “Untunglah saya masih punya santapan tiga prajurit!” kata Piros si naga merah.
“Wah, ada di mana mereka? Apa mereka bisa bebas?” tanya nenek Piros.
"Mereka tidak mungkin bebas. Karena aku memberi mereka satu teka-teki yang tidak bisa mereka tebak."
"Teka-teki macam apa itu?"
"Aku akan beri tiga pertanyaan pada mereka. Pertama, daging panggang apa yang akan aku sediakan untuk mereka? Jawabannya adalah daging singa laut dari Laut Utara. Kedua, sendok yang akan mereka pakai itu, terbuat dari apa? Jawabannya, dari tulang rusuk ikan paus. Pertanyaan ketiga, gelas minumannya terbuat dari apa? Jawabannya, dari batu marmer.”
Setelah bercakap, Piros lalu pergi tidur. Si Nenek Naga lalu membuka pintu ruang bawah tanah dan mengeluarkan Gergo.
"Apakah kau sudah mendengar semuanya?”
“Ya,” jawab Gergo. “Terima kasih atas bantuannya, Nek.”
Gergo lalu keluar lewat jendela, dan berlari kembali ke kastil Naga Merah. Ia menceritakan semua pengalamannya pada Nandor dan Hunor. Kedua temannya itu sangat gembira dan lega.
Setelah genap tujuh tahun berlalu, Piros kembali ke kastilnya dan bertemu dengan ketiga prajurit itu.
“Aku akan membawa kalian ke bawah tanah. Di sana, sudah aku sediakan hidangan untuk kalian. Tapi kalian harus menjawab tiga pertanyaan ini dulu. Pertama, daging panggang apa yang kusediakan untuk kalian makan nanti? Kalau kalian bisa menjawabnya, kalian akan bebas dan boleh membawa cambuk ajaib pemberianku itu!” ujar Piros.
Nandor langsung menjawab, “Kau akan menyediakan kami daging panggang singa laut dari Laut Utara. Betul, kan?”
Piros sangat kesal mendengar jawaban Nandor yang benar. Buru-buru ia menanyakan pertanyaan ke dua, “Tapi sendok apa yang kusediakan untuk kalian?”
“Kau akan memberikan kami sendok dari bahan tulang rusuk paus!” jawab Hunor.
Piros menggeram semakin marah. Namun ia buru-buru menanyakan pertanyaan ketiga, “Hum, hum, hum… kalian tak akan tahu jawaban pertanyaan ketiga ini. Apa kalian tahu, gelas yang aku sediakan nanti, terbuat dari bahan apa?”
“Aku tahu! Pasti kau akan menggunakan gelas dari bahan batu marmer!”
“Graaaauuuuu… siaaaal…” Piros meraung keras sekali. Ia lalu terbang menjauh dengan marah. Mau tak mau, ia harus menepati janji yang ia tulis sendiri di kertas perjanjian.
Nandor, Hunor dan Gergo bersorak riang karena terbebas dari Piros. Mereka mengambil cambuk ajaib dan memecutnya ke udara. Keluarnya uang dengan jumlah yang sangat banyak. Mereka menggunakannya untuk membangun desa itu. Piros sendiri tak pernah kembali lagi ke kastilnya di desa itu.
Teks: Rizki
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR