“Yuk kita cari keluargamu,” tiba-tiba suara Cendan mengejutkan dari belakang Seta.
“Cendan, kamu sudah selesai istirahatnya?” tanya Seta.
“Sudah! Ayo naik ke punggungku,” kata Cendan.
Seta yang awalnya ragu akan melanjutkan perjalanan atau tidak karena janjinya pada Cendan untuk kembali, sekarang sudah yakin untuk mencari keluarganya lagi.
“Tapi Cen, sebentar lagi, kan, gelap. Bagaimana mencari?” tanya Seta.
“Tenang… ada ini,” jawab Cendan.
Cendan langsung mengeluarkan senter kepala yang dititipkan oleh Tuan Lanlan. Senter ini bisa ditempel di kepala untuk membantu penglihatan saat gelap.
Tanpa menunggu waktu lama, Cendan dan Seta terbang untuk mencari keluarga Seta. Mereka mengikuti apa kata kumbang, menuju ke arah Timur di dekat batu.
Walaupun menggunaan senter, tidak mudah mencari semut hitam dalam gelap malam. Sebentar-sebentar Cendan terbang, sebentarnya lagi Cendan berjalan hingga akhirnya mereka sampai di batu yang disampaikan kumbang.
“Ayah… Ibu… ini Seta,” ucap Seta berulang kali.
“Ayah… Ibu… ini Seta dan temannya,” ucap Cendan membantu.
krasak krusuk krasak krusuk… seperti ada yang keluar dari lubang dekat batu.
“Setaaaa…… Ayah Ibu… ada Setaaaaaa,” kata seekor semut hitam
Seta langsung berlari memeluk semut itu. Ia adalah Hinsa, kakak Seta. Mereka berpelukan lama sekali.
“Seta…. di mana Seta di mana?” datanglah dua ekor semut lagi. Mereka adalah Ayah dan Ibu Seta.
Mereka berempat berpelukan lama sekali. Terdengar suara tangisan Seta, tangisan bahagia karena akhirnya berjumpa dengan keluarga.
Cendan meneteskan air mata melihat pertemuan yang mengharukan itu. Ia teringat saat pertama kali bertemu dengan Seta dengan wajah sedih, lelah, dan takut. Lalu, berbagi cerita dengan Seta, dan sekarang apa yang Seta cari sudah ditemukan.
Cendan mundur beberapa langkah, hingga cahaya dari senter di kepala Cendan bergoyang. Seta baru sadar belum memperkenalkan Cendan.
“Astaga, Cendan…. Ibu Ayah, ini Cendan, sahabatku yang membantuku menemukan kalian,” kata Seta.
Ketiga semut hitam lainnya langsung mendekati Cendan.
“Terima kasih Cendan. Terima kasih sudah mempertemukan kami kembali,” kata Ayah Seta.
“Terima kasih sudah menolong Seta,” kata Ibu Seta sambil menangis.
“Sama-sama, Cendan senang menolong Seta, Cendan senang melihat kalian bertemu lagi,” jawab Cendan.
Hari sudah malam, semuanya lelah dengan perjalanannya masing-masing. Cendan beritirahat di ranting dekat sarang keluarga Seta. Awalnya Seta ingin beristirahat di dekat Cendan, tetapi Cendan menolak.
“Kamu tidur dengan keluargamu saja Seta, mereka pasti rindu. Aku tidak apa tidur disini,” kata Cendan. Seta pun menuruti kata-kata itu.
----
Malam itu penuh bintang. Cendan tak segera tidur walaupun ia lelah. Ia melihat bintang-bintang yang indah dan banyak. Tiba-tiba, Cendan merasa hanya ia yang sendirian.
“Halo bintang, dimanakah Ayah dan Ibuku sekarang? Bisakah kamu kabarkan?” kata Cendan. Tidak terasa air matanya turun mengingat peristiwa para pemburu liar yang menangkap Ayah dan Ibunya untuk dijual dengan harga mahal. Burung cendrawasih yang dipuja-puja, ternyata membawa petaka untuk keluarga Cendan.
“Bintang ada banyak… Seta sudah bertemu keluarganya. Lalu aku?” tanya Cendan dalam hati.
“Kamu harus ingin, kami di sini keluargamu....”
Tiba-tiba ia teringat kata-kata Sisi, singa baik hati yang mengantarkannya dalam perjalanan menemukan Seta dan keluarganya.
“Selamat Seta, pencarianmu berbuah manis. Doakan, aku pun begitu. Bisa menemukan Ayah dan Ibuku,” kata Cendan berbisik, seperti berdoa.
Malam itu Cendan memakai lagi senter kepala yang dititipkan Tuan Lanlan. Ia terbang.
Kemanakah Cendan?
Kembali ke rumah atau mencari orang tuanya?
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR