Waktu itu hujan deras. Bajuku sudah basah kuyup, koran-koran yang kujual juga basah padahal aku sudah lari-lari dari tengah jalan untuk melindunginya. Hah, tetap saja basah. Harusnya kalau hujan sudah turun rintik-rintik aku berhenti berjualan dan berteduh saja. Kalau seperti ini, kan, jadi harus ganti rugi koran basah.
“Dapat uang dari mana, ya?” tanyaku dalam hati.
Waktu itu angin berhembus dingin sekali. Aku memeluk diri sendiri karena kedinginan. Di rumah pasti sudah banjir karena atap kami bocor. Aku membayangkan betapa repotnya Abang. Atau, jangan-jangan Abang belum pulang kerja.
“Gawat, bisa-bisa rumah banjir,” kataku dalam hati.
Aku tak punya pilihan lain selain berteduh. Bukan hanya hujan yang deras, tetapi angin begitu kencang, ditambah petir menyambar silih berganti. Semuanya menakutkan dan berbahaya.
“Hai, Nak!” tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. Aku melihat pintu toko terbuka dan ada seorang Bapak. Aku sering melihat bapak itu di rumah panti asuhan di dekat rumahku. Mungkin ia sering membawa sumbangan untuk panti asuhan.
“Anak lelaki memang kuat! Tapi sebaiknya kamu masuk! Hujan sangat deras, nanti kau sakit,” katanya.
Aku menurut masuk karena saat itu aku memang sangat kedinginan sampai gemetaran. Aku segera diberikan handuk, peralatan mandi, dan pakaian kering. Semuanya masih baru. Bapak itu pasti mengambilnya dari rak-rak di dalam tokonya ini.
“Makasih, Pak,” kataku. Aku segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan keramas agar tidak pusing.
Rasanya jauh lebih baik. Ruangan ini hangat walaupun di luar sedang hujan deras, bahkan petirnya pun belum berhenti bersahutan.
“Ini diminum dulu,” kata Bapak itu menyajikan secangkir cokelat hangat. Aromanya sangat harum. Ada hiasan putih di atasnya.
“Wah bagus sekali Pak... Bagaimana cara membuat hiasan di atas minuman?” kataku terpesona.
“Nanti kita belajar, ya. Minum dulu saja,” katanya singkat. "Makan juga kue ini," kata Pak Wira sambil meletakkan piring berisi sepotong kue berbentuk hati.
Aku menikmati minuman yang ternyata cokelat hangat itu. Kuenya juga lezat. Aku beruntung sekali ditolong Bapak ini. Namun, aku penasaran mengapa Bapak ini hanya sendirian.
“Saya sering lihat kamu berjualan koran di perempatan jalan sana. Kamu tidak sekolah?” kata Bapak itu.
“Sekolah Pak. Jualannya sepulang sekolah,” jawabku
“Bagus-bagus. Teruslah bersekolah karena itu cara paling mudah meraih cita-cita,” kata Bapak itu. “Laku banyak hari ini?” tanya si Bapak.
“Haduh Pak, baru laku empat, sisanya sudah basah kena hujan,” kataku.
“Jadi kamu harus ganti?” tanya Bapak itu.
“Iya begitulah Pak,” jawabku.
“Dapat uang dari mana?” tanya Bapak itu lagi.
“Jadi buruh angkut mungkin, Pak,” kataku.
Bapak itu hanya mengangguk. Aku menyeruput lagi cokelat hangat yang sangat lezat itu. Lalu menggigit kue yang tak kalah nikmatnya.
“Panggil aku Pak Wira, yah. Aku punya pekerjaan untukmu. Mungkin bisa kau pertimbangkan,” katanya.
Aku sangat bersemangat. Aku letakkan cangkir itu.
“Apa Pak?” kataku bersemangat.
“Kau bawa koran pagi-pagi kemari sebelum berangkat sekolah. Nanti jualan di perempatan kalau sudah pulang sekolah. Kalau sisa, kita buat hiasan dinding,” kata Pak Wira sambil membuka lemari yang berisi koleksinya yang terbuat dari koran.
Aku takjub sekali melihat berbagai koleksi itu. “Kok kamu bengong, habiskan cokelat dan kuemu dulu, nanti kita ngobrol lagi. Nih, dua ekor kupu-kupu dari koran akan menemanimu juga,” kata Pak Wira. Ia meletakkan dua ekor kupu-kupu yang terbuat dari koran di dekat gelas dan piringku.
Aku tersenyum girang. Kupu-kupu yang bagus. Segera kuseruput minuman lezat buatan Pak Wira.
“Bapak baik sekali,” kataku.
“Ah, ini sedikit balasan Tuhan untuk semangatmu selama ini yang tidak pernah habis,” jawab Pak Wira
“Pak apakah aku boleh belajar membuat cokelat yang enak dan hiasan yang bagus di atas?” tanyaku memberanikan diri.
“Tentu saja boleh, asal kau mau membantuku membagikannya kepada anak-anak panti setiap hari Sabtu,” kata Pak Wira.
“Wah, Bapak memberikan cokelat ini kepada anak panti?” tanyaku kagum. Rupanya itu yang dilakukan Pak Wira saat datang ke panti asuhan. Ia mengangguk.
"Anak-anak panti biasanya berebutan ingin membuat hiasan minumannya masing-masing," kata Pak Wira.
“Cokelat bisa membuat orang bahagia, kan,” kata Pak Wira. "Kalau kau bahagia, sekolahmu pun lancar. Berusahalah dan berbahagialah," katanya lagi.
"Pak Wira mengapa begitu baik kepada anak-anak?" tanyaku.
"Karena itu membuatku bahagia. Aku tidak punya anak. Jadi, aku bahagia kalau bisa membahagiakan anak-anak yang butuh bantuan," jawabnya singkat. Kami pun tertawa bersama.
Aku mengangguk setuju. Kami pun menyeruput lagi cokelat hangat yang begitu lezat hingga habis.
Cerita dan Foto: Putri Puspita | Bobo.ID
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR