Hari-demi hari pun berlalu. Sambil menantikan hari yang ditentukan oleh si naga berkepala tujuh, Raja Geomar membangun sebuah kapal besar. Kapal itu untuk membawa keduabelas pasang pemuda dan gadis untuk dijadikan santapan Raja Tujuh Kepala.
Karena penduduk kerajaan itu sangat mencintai kerajan mereka, maka majulah duabelas pasang pemuda dan pemudi. Mereka sukarela menyerahkan diri untuk menjadi santapan Raja Tujuh Kepala.
Raja Geomar sebenarnya sangat sedih dan tidak tega. Semua itu terjadi akibat kecerobohannya. Namun jika ia tidak melakuhan hal itu, maka seluruh penduduk kerajaan itu yang akan jadi korban. Kapal itu dipasangi bendera hitam sebagai tanda duka cita.
Kapal itu lalu membawa duabelas pasang anak muda ke kastil Raja Tujuh Kepala.
Ketika sampai di sana, mereka langsung pergi ke Danau. Kali ini, singa-singa di bawah pohon tidak bergerak. Mata air tidak mengalir dan sang Danau pun tidak berbicara.
Tidak lama kemudian, bumi bergetar seperti dulu kala. Naga berkepala tujuh datang tanpa diiringi hewan-hewan buas. Ketika melihat mangsanya, ia segera melahap mereka dalam satu kali telan.
Kemudian awak kapal kembali ke kerajaan mereka. Lima tahun berikutnya, mereka harus mengantar korban lagi.
Sementara itu, Raja Geomar dan istrinya semakin tua dan hidup dalam penyesalan dan ketakutan. Selain itu, Raja Geomar juga sedih karena ia belum mempunyai anak. Siapa yang akan meneruskan pemerintahan di kerajaannya jika ia tak punya pewaris takhta.
Suatu hari, sang Ratu sedang duduk di jendela sambil menangis sedih karena tidak memiliki anak. Tiba-tiba seorang nenek muncul di hadapannya sambil memegang sebuah apel di tangannya, dan berkata,
“Mengapa kamu menangis, Ratu? Apa yang membuatmu tidak bahagia?”
“Aduh, Nenek yang baik,” jawab sang Ratu, “Saya tidak bahagia karena tidak punya anak.”
“Ratu, hamba adalah seorang petapa. Di gua pertapaan, ada sebatang pohon apel. Kebetulan saya membawa sebuah apel dari pohon itu. Makanlah. Siapa pun yang memakan apel ini, akan memiliki seorang anak,” kata Nenek Petapa.
Ratu membeli apel itu dari si Nenek Petapa. Ia lalu mengupas dan memakan apel itu. Pelayan mengambil kulit apel dan mencampurnya dengan makanan seekor kuda betina.
Beberapa waktu kemudian, Ratu melahirkan seorang bayi lelaki bernama Armando. Kuda betina itu pun melahirkan seekor kuda jantan. Pangeran kecil dan kuda itu pun tumbuh bersama. Mereka sangat akrab dan kompak.
Seiring berjalannya waktu, Raja Geomar dan Ratu meninggal dunia. Pangeran Armando kini berusia sembilan belas tahun.
Suatu hari, kuda itu bicara pada Pangeran Armando.
“Aku sayang padamu. Aku juga sayang pada kerajaan yang kini kau pimpin. Jika setiap tahun kau mengirimkan dua belas pemuda dan pemudi untuk Raja Tujuh Kepala, maka penduduk kerajaan ini lama-lama akan habis. Sekarang, naiklah ke punggungku. Aku akan membawamu ke seorang nenek yang tahu cara mengalahkan si naga kepala tujuh itu!”
Armando pun segera menaiki kudanya. Kuda itu membawanya ke sebuah gunung. Di gunung itu, ada sebuah gua bawah tanah yang sangat besar. Di dalamnya, tampak duduk seorang nenek.
Begitu melihat nenek petapa itu, Pangeran Armando langsung berlutut sopan.
“Maafkan aku, Nenek Petapa. Hamba datang ke sini, untuk meminta bantuan. Bagaimana cara mengalahkan naga berkepala tujuh. Warga kerajaanku semakin lama semakin berkurang karena menjadi santapan naga itu.”
Nenek Petapa melangkah maju. Ia meraih pundak Armando agar bangkit berdiri, lalu memeluknya.
“Ketahuilah, anakku… Sayalah dulu yang memberikan apel ajaib pada ibumu. Sehingga ibumu bisa mempunyai anak, yaitu kamu. Begitu juga dengan kuda betina istana yang bisa mempunyai anak kuda jantan yang bersamamu sekarang. Aku akan memberitahu padamu cara mengalahkan ular berkepala tujuh itu,” kata Nenek Petapa.
Nenek Petapa menyuruh Armando memuat kudanya dengan kapas. Nenek itu lalu menunjukkan peta sebuah lorong rahasia di bawah kastil naga berkepala tujuh. Lorong itu akan menuju ke kamar tidur raja naga, tanpa melewati hewan-hewan buas peliharaannya.
Menurut Nenek Petapa, di dekat tempat tidur sang naga, tergantung beberapa lonceng. Dan di dekat tempat tidurnya, tergantung sebuah pedang. Naga itu hanya bisa dikalahkan dengan pedang itu. Meski pedangnya patah, mata pedang akan bertumbuh lagi sampai naga berkepala tujuh itu kalah.
Nenek Petapa lalu mengajari Armando cara agar raja naga itu tidak terbangun.
“Kamu harus masuk pelan-pelan sekali ke kamarnya. Semua lonceng yang mengelilingi tempat tidur raja, harus disumpal kapas agar tidak berbunyi. Lalu, ambil pedang dengan pelan-pelan!”
Setelah itu, Armando harus buru-buru memukul ekor raja naga dengan pedangnya. Si raja naga akan segera terbangun. Pada saat itu, Armando harus menebas semua kepala naga.
Dengan membawa peta dari Nenek Petapa, Pangeran Armando pun berangkat menuju ke kastil raja naga. Ia melewati lorong rahasia yang ditunjukkan Nenek Petapa.
Beberapa saat kemudian, Armando berhasil masuk ke kamar raja naga. Ia menyumpal semua lonceng dengan kapas. Lalu mengambil pedang si raja naga. Dan dengan pedang itu, Pangeran Armando berhasil mengalahkan si raja naga yang kejam.
Begitu mendengar kematian raja mereka, para binatang buas bergegas masuk ke kamar rajanya. Namun Pangeran Armando telah menaiki kudanya dan tidak terlihat lagi oleh mereka.
Pangeran Armando akhirnya sampai di istananya kembali dengan selamat. Ia berhasil membebaskan rakyatnya dari ancaman Raja Tujuh Kepala yang mengerikan itu.
(Tamat)
Teks: Rizki
Dok. Majalah Bobo
Source | : | Dok. Majalah Bobo / Folkore |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR