“Teeeeeet...” Bel sekolah akhirnya terdengar. Mia menarik napas lega. Ia bergegas membereskan bukunya lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Buru-buru sekali, Mi. Kayak mau ditinggal aja," canda Desi, teman sebangkunya.
Mia tersenyum. "Hari ini nenekku akan datang. Jadi aku ingin cepat-cepat sampai rumah."
"Nenekmu, kan, ada dua. Yang mana yang akan datang?" tanya Desi.
"Omaku. Nenek dari mamaku."
"Nenekmu yang satunya tidak datang?"
"Niniku, nenek dari papaku tidak datang," geleng Mia.
"Huuuush!" bisik Mia saat terdengar suara Rio bersiap-siap untuk memimpin doa.
Usai Bu Dinar keluar kelas, Mia melesat meninggalkan kelas. Ia melambaikan tangan pada Desi lalu bergegas menuju halte bus. Wajah Mia begitu ceria. Ia membayangkan bertemu Oma dan malam nanti mendengarkan dongeng-dongengnya yang menarik. Oma selalu mendongeng menjelang tidur.
Tiba di rumah, Mia melihat pintu depan rumahnya terbuka lebar. la juga mendengar suara tawa mamanya. Pasti Mama sedang ngobrol dengan Oma, pikir Mia.
Mia mempercepat langkahnya. Tiba di depan pintu ia tertegun. Mama sedang mengobrol bukan hanya dengan Oma, tetapi juga dengan Nini!
"Lo, kok, berdiri saja?" tegur Mama pada Mia. "Ayo, salam sama Oma dan Nini."
Mia menghampiri Oma dan Nini. Ia mencium kedua tangan neneknya. Oma mencium kedua pipi Mia. Nini pun mencium kedua pipi Mia dengan hangat.
"Sekarang ganti baju dulu, lalu kita makan sama-sama," senyum Mama.
"Cepat, ya. Oma sudah tak sabar dengan masakan mamamu," tawa Oma pada Mia.
Mia berlari ke kamarnya dan terduduk sedih. Semua rencana untuk menyambut kedatangan Oma jadi berantakan karena kedatangan Nini. Mia membanding-bandingkan Oma dan Nini.
Mia merasa lebih senang bertemu Oma daripada Nini. Oma sangat pandai berbahasa Inggris dan Belanda. Oma sangat pandai berhitung dan mendongeng. Dulu, Oma bekerja sebagai dosen di sebuah universitas. Mia sangat senang jika Oma datang, karena ia bisa bertanya tentang pelajaran sekolah. Sedangkan Nini? Mia mengingat-ingat kelebihan Nini. Lalu Mia menggeleng. Ia hanya tahu bahwa Nini tidak banyak bicara jika bertemu dengannya.
Malam harinya Mia tidur sekamar dengan Oma dan Nini. Sebenarnya Mia lebih senang jika ia bisa sekamar hanya dengan Oma. Namun jika ia mengatakan yang sejujurnya, tentu akan menyakiti perasaan Nini.
"Kamu tak ada PR?" Oma duduk di samping Mia yang sedang membaca buku pelajaran.
"Tidak," geleng Mia.
Biasanya jika ada Oma, Mia cerewet sekali. Ia selalu bertanya banyak hal pada Oma. Namun kali ini Mia lebih banyak diam.
"Makan malam telah siap." Mama muncul di pintu dengan senyum manis.
"Ayo, Oma sudah tak sabar dengan masakan mamamu," Oma menepuk pipi Mia. "Kita makan dulu. Setelah itu kita berbagi cerita. Setuju?" Oma memandang Mia sambil tersenyum jenaka.
Mia tertawa melihat gaya kocak Oma. Lalu ia keluar kamar bergandengan tangan dengan Oma. Di meja makan, Papa dan Nini sudah menunggu.
"Ini tempat dudukmu," Nini menepuk sebuah kursi kosong di tengah. Mia tersenyum manis pada Nini. Ia duduk di antara Oma dan Nini.
"Hmmm, asyik sekali dimanja dua nenek," goda Papa pada Mia.
Mia tersenyum, ia menoleh pada Oma dan Nini. Namun Mia lebih senang bersama Oma karena Oma pandai.
"Kamu tahu, kenapa Oma senang masakan mamamu?" Oma tersenyum pada Mia. Mia menggeleng. Ia memandang Oma dengan rasa ingin tahu.
"Karena masakan mamamu sangat lezat," jelas Oma.
"Betul," sahut Papa.
"Kamu tahu siapa yang mengajari mamamu masak?" tanya Oma kemudian.
"Tentu Oma," jawab Mia. Namun Oma menggeleng.
"Kalau bukan Oma, lalu siapa?" Mia bertanya heran.
"Nini yang mengajarkan mamamu masak sampai pandai seperti sekarang ini. Oma ini tidak pandai masak," Oma tersenyum malu. Mia menoleh pada Nini. la melihat Nini tersenyum hangat padanya.
"Nini mengajari Mama begitu sabar. Ketika baru menikah, Mama bodoh sekali soal memasak. Nama bumbu dapur saja Mama tak hapal," cerita Mama sambil tersenyum.
"Tapi sekarang..., hmm setiap masakan Mama pasti lezat," puji Papa.
Mia kembali, menoleh pada Nini. Ada senyum yang sangat manis di wajah Mia untuk Nini. Oh, begitu bahagianya mempunyai dua nenek yang pandai!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pupuy Hurriah.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR